Senin, 02 Maret 2020

MENGKAJI SUNNAH YANG HIDUP DAN MENGHIDUPKAN SUNNAH


Penggunaan istilah “sunnah” dalam judul di atas sengaja dipilih untuk menegaskan bahwa kata tersebut merupakan perwakilan dari kata “al-Qur’an dan hadis”. Sedangkan istilah “sunnah yang hidup” dan “menghidupkan sunnah” juga merupakan komponen utama living quran dan hadis.
Sunnah adalah al-Qur’an dan hadis. Al-Qur’an saja, tidak akan hidup. Hidupnya al-Qur’an adalah sunnah. Sedangkan esensi dari hadis adalah sunnah itu sendiri, sehingga, komposisi sunnah adalah al-Qur’an dan hadis. Dengan demikian, living sunnah adalah tidak berarti living hadis saja, melainkan juga living quran. Sehingga, nantinya dalam buku ini jika disebut living sunnah, maka yang di maksud adalah living al-Qur’an dan living hadis.
Sunnah diabadikan dalam hadis. Tanpa hadis, sunnah tidak dapat diketahui. Betapapun sunnah dan hadis dalam sebagian diskursus kajian hadis adalah berbeda, namun dalam konteks ini adalah sama. Atau, jika keduanya tetap harus dibedakan, maka pada dasarnya keduanya bak dua sisi mata uang. Keduanya memang beda namun tak dapat dipisahkan antar satu sama lain. Sedangkan bagi yang menganggapnya sebagai sinonim, maka jelas bahwa living hadis pastilah living sunnah. Dengan demikian, living sunnah dapat berupa living al-Qur’an dan dapat pula berupa living hadis.
Hanya saja, seringkali sunnah yang merupakan pengalaman dari al-Qur’an tersebut menjadi terpisah dari teks al-Qur’annya sehingga tampak seolah-olah antara al-Qur’an dan hadis (sunnah) pun menjadi berbeda. Padahal, hadis yang dalam hal ini adalah sunnah sebenarnya adalah penjelas dari al-Qur’an. Tanpa terkecuali. Betapapun, fungsi sebagian hadis ada yang bayan tasyri’, yaitu sebagai penegas hukum yang belum tercantum dalam al-Qur’an, tetap sebenarnya ia adalah turunan dari pemahaman teks al-Qur’an yang berbicara tentang islam secara makro pada masa Nabi, sunnah pasti hidup, Nabi sendiri yang menghidupkannya. Al-Qur’an juga pasti hidup. Karena, adanya sunnah tidak lain adalah hidupnya al-Qur’an. Testimoni Ibunda Aisyah (w. 58/678 M) bahwa akhlak nabi tak lain adalah al-Qur’an “kaana khuluquhuu al-quraan”, menunjukan bahwa apapun yang di lakukan oleh Nabi merupakan artikulasi dari al-Qur’an, tanpa terkecuali. Sedangkan apapun yang di lakukakn oleh Nabi tidak lain adalah sunnah, dalam terminologi ahli hadis. Oleh karena itu, sunnah di rekam oleh ahli hadis secara sangat detail, tanpa ada perbedaan mengandung kehujahan dalam hukun atau tidak. Dijadikan sebagai landasan hukum maupun tidak. Berkenaan dengan hal-hal yang sifatnya manusiawi (jibilliyah,basyariyah) maupun yang berkenaan dengan kedudukannya sebgai Nabi dan rasul (nabawiyyah, risalah-ilahiyyah). Semua itu dilaporkan dengan baik sebagai living sunnah oleh sabahat Nabi. Dengan demikian, tidaklah keliru jika dinyatakan bahwa hadis fi’il yang disampaikan oleh sahabat adalah the early living hadith studies.
Pada masa sahabat, menghidupkan al-Qur’an adalah menghidupkan sunnah Nabi, yaitu menghidupkan tradisi kenabian. Cara sahabat menghidupkan al-Qur’an adalah dengan meneladani, mengikuti jejak Nabi. Ada banyak sekali cara sahabat meneladani Nabi untuk meghidupkan al-Qur’an. Semuanya tergantung kepada pengalaman masing-masing dalam berinteraksi dengan Nabi. Bagi sahabat yang berinteraksi hanya satu atau dua hari saja dengan Nabi, mereka juga meneladani apa yang mereka saksikan dan alami selama bergaul dengan Nabi itu, baik dari Nabi secara langsung maupun dari sahabat yang ada di sekelilingnya. Bagi sahabat yang memiliki intensitas pergaulan (suhbah) cukup tinggi dan lama juga memiliki karakter dan cara yang berbeda dalam meneladani perilaku Nabi. Semuanya legal. Semuanya dibenarkan, dan memang benar. Semuanya dapat menjadi dasar hukum. Kita bisa memilih salah satunya. Abu Hanifah (80-150 H/699-767M) menegaskan, jika keteladanan itu berasal dari Nabi secara langsung, maka tidak ada alasan apapun untuk menolaknya. Namun jika berasal dari muridnya, yaitu para sahabat, kita boleh memilihnya. Begitu pulalah yang dilakukan oleh para sahabat Nabi. Semua yang mereka saksikan dari Nabi selama bergaul dengannya, adalah keteladanan yang mereka ikuti dan lestarikan, mereka ajarkan keteladanan tersebut kepada para muridnya. Itulah yang kemudian menjadi sumber kemudahan dalam berislam. Di sisi lain, itu pulalah yang menimbulkan khilaf di kalangan generasi setelahnya yang jika tidak disadari secara arif dan tidak di kelola dengan baik, akam menjadi sumber perpecahan dan perumusan. Na’udzbillah.
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa para sahabat. Menghidupkan al-Qur’an tidak serta merta dilakukan secara lansung dari al-Qur’an. Melainkan dari keteladanan terhadap tradisi kenabian (sunnah nabawiyah). Adapun ada kasus menghidupkan al-Qur’an secara langsung, pasti hal itu telah mengalami penelaahan terlebih dahulu dari memori para sahabat terkait dengan tradisi kenabian tersebut. Biasanya, mereka akan saling bertanya satu sama lain, adakah di antara mereka yang pernah melihat atau mendengar Nabi menyikapi kasus yang sebenarnya dapat di rujuk secara langsung dari al-Qur’an?
Pada tahap ini, living sunnah telah terjadi pada masa sahabat. Kajian hadis telah dapat dikaji secara sosiologis. Sebelumnya, pada masa Nabi, kajian hadis secara sosiolgis hanya dapat dibaca melalui pendekatan sabab wurud al-hadis. Pada masa sahabat, sudah bukan hanya ada sabab al-wurud, melainkan sudah meluas hingga ke asbab al-iiraad. Secara sosiologis, sunnnah yang di hidupkan oleh sahabat sudah dapat di sebut sebagai living hadis. Kajiannya pun menjadi kajian sunnah yang hidup, yaitu kajian terhadapat sunnah-sunnah yang di hidupkan oleh para sahabat. Itulah yang di sebut dengan kajian tentang sunnah yang hidup ihya’ al-sunnah.
Disisi lain, untuk menghidupkan sunnah tersebut, para sahabat juga sebelumnya melakukan kajian terlebih dahulu, terkait otoritas, otentisitas dan originalitas praktik sunnah yang mereka hidupkan. Dari situ mereka juga mengkaji strategi untuk menghidupkannya agar tepat guna, tepat sasaran dan tidak menimbulkan fitnah. Ini karena tidak semua sunnah dapat begitu saja diterapkan dalam setiap kondisi. Artinya, jika ia diterapkan secara tidak proporsional, apalagi serampangan, maka akan menimbulkan keresahan dimasyarakat. Kajian yang dilakukan oleh para sahabat itu disebut sebagai kajian ihya’ al-sunnah.
Begitupun kajian-kajian tentang sunnah Nabi, al-Qur’an dan hadis dalam ruang-ruang ilmu sosial pada generasi-generai setelah sahabat, hingga kekinian. Di indonesia misalnya, kajian tentang al-Sunnah al-hayyah sejak awal tahun 2000 an mendapatkan perhatian yang besar. Kajian living hadis model ini mulai dipopulerkan di yogyakarta. Hanya saja, kajian living quran-hadis yang berkembang kemudian hanya yang jenis ini saja, sehingga cenderung reduktif terhadap ilmu living quran-hadis itu sendiri. Hasilnya, seolah-olah kajian ihya’ al-sunnah tidak menjadi bagian dari ilmu living quran-hadis, padahal kajian tentang al-Sunnah al-hayyah secara historis tidak akan terwujud tanpa adanya ihya’ al-sunnah.  Oleh karena itu kedua kajian ini tidak bisa dipisahkan satu sma lain. Namun, keduanya dapat dikaji secara terpisah, dan secara akademik-ilmiah.
Sebelumnya, kajian hadis jika sudah memasuki ranah sosial, cenderung bersifat rigid, dan bersifat “memaksa” praktik sosial berubah mengikuti teks hadis. Biasanya hal semacam itu disebut dengan ihya’ al-sunnah. Beberapa ormas islam di Indonesia, banyak mengusung misi ihya’ al-sunnah. Oleh karena itu kajiannya cenderung kaku. Hasilnya menjadi ihya’ al-sunnah yang  terkadang kemudian diributkan sebagian orang. Misalnya kehadiran Persis, LDII dan salafi yang jelas secara lugas mengusung misi ihya’ al-sunnah. Dalam praktiknya, produk-produk ihya’ al-sunnah tersebut kemudian mendapatkan “respon keras” dan polemik panjang karena misalnya terkesan “memaksa” ormas lain seperti NU untuk mengikuti produknya. Disinilah kajian ihya’ al-sunnah harus mendapatkan porsi dan perhatian yang juga tidak kalah besar dalam ilmu living quran-hadis. Kajian ihya’ al-sunnah, harus memperhatikan konteks sosial masyarakat terkini yang akan menjadi sasaran ihya’ al-sunnah. Namun, ia terlebih dahulu mengkaji konteks sosial masyarakat pada masa Nabi saat sunnah itu muncul, berikut latar belakang kemunculannya. Kemudian, ia harus disinergikan,  dikompromikan dan dipadukan. Karena mau bagaimanapun konteks sosial keduanya jelas berbeda. Itulah yang oleh FazlurRahman (1919-1988 M) disebut sebagai teori Double Movement (gerak ganda) dalam penafsiran.
Baik kajian al-sunnah al-hayyah maupun ihya’ al-sunnah, keduanya harus mendapatkan perhatian dan porsi yang sama dalam bidang ilmu living quran-hadis. Keduanya adalah kaijian al-Qur’an dam hadis yang sangat melekat dengan ilmu sosiologi dan antropologi. Keduanya memang berbeda, namun bak dua sisi mata uang. Tidak bisa dipisahkan ssatu sama lain. Keduanya dapat dijadikan sebagai kajian ilmiah-akademis. Namun keduanya memiliki sifat dan karakter yang berbeda. Kajian jenis pertama al-sunnah al-hayyah basis utamanya adalah data fenomenologis, data sosial, alias data lapangan. Sehingga biasanya sangat  emik dan tidak terikat oleh otentisitasa teks. Sedangkan jenis kajian kedua yaitu ihya’ al-sunnah, bersifat etis dan sangat terikat oleh otentisitas, otoritas dan orisinalitas teks kenabian.
Alur kajian keduanyapun berbeda. Jika posisi teks adalah di atas, dan praktik sosial berada di bawah, maka jenis kajian pertama memiliki alur bottom-up, sementara jenis kajian kedua disebut top-down.