Penggunaan istilah “sunnah” dalam judul di atas sengaja dipilih
untuk menegaskan bahwa kata tersebut merupakan perwakilan dari kata “al-Qur’an
dan hadis”. Sedangkan istilah “sunnah yang hidup” dan “menghidupkan sunnah”
juga merupakan komponen utama living quran dan hadis.
Sunnah adalah al-Qur’an dan hadis. Al-Qur’an saja, tidak akan
hidup. Hidupnya al-Qur’an adalah sunnah. Sedangkan esensi dari hadis adalah
sunnah itu sendiri, sehingga, komposisi sunnah adalah al-Qur’an dan hadis.
Dengan demikian, living sunnah adalah tidak berarti living hadis saja,
melainkan juga living quran. Sehingga, nantinya dalam buku ini jika disebut
living sunnah, maka yang di maksud adalah living al-Qur’an dan living hadis.
Sunnah diabadikan dalam hadis. Tanpa hadis, sunnah tidak dapat
diketahui. Betapapun sunnah dan hadis dalam sebagian diskursus kajian hadis
adalah berbeda, namun dalam konteks ini adalah sama. Atau, jika keduanya tetap
harus dibedakan, maka pada dasarnya keduanya bak dua sisi mata uang. Keduanya
memang beda namun tak dapat dipisahkan antar satu sama lain. Sedangkan bagi
yang menganggapnya sebagai sinonim, maka jelas bahwa living hadis pastilah
living sunnah. Dengan demikian, living sunnah dapat berupa living al-Qur’an dan
dapat pula berupa living hadis.
Hanya saja, seringkali sunnah yang merupakan pengalaman dari al-Qur’an
tersebut menjadi terpisah dari teks al-Qur’annya sehingga tampak seolah-olah
antara al-Qur’an dan hadis (sunnah) pun menjadi berbeda. Padahal, hadis yang
dalam hal ini adalah sunnah sebenarnya adalah penjelas dari al-Qur’an. Tanpa
terkecuali. Betapapun, fungsi sebagian hadis ada yang bayan tasyri’,
yaitu sebagai penegas hukum yang belum tercantum dalam al-Qur’an, tetap
sebenarnya ia adalah turunan dari pemahaman teks al-Qur’an yang berbicara
tentang islam secara makro pada masa Nabi, sunnah pasti hidup, Nabi sendiri
yang menghidupkannya. Al-Qur’an juga pasti hidup. Karena, adanya sunnah tidak
lain adalah hidupnya al-Qur’an. Testimoni Ibunda Aisyah (w. 58/678 M) bahwa
akhlak nabi tak lain adalah al-Qur’an “kaana khuluquhuu al-quraan”,
menunjukan bahwa apapun yang di lakukan oleh Nabi merupakan artikulasi dari al-Qur’an,
tanpa terkecuali. Sedangkan apapun yang di lakukakn oleh Nabi tidak lain adalah
sunnah, dalam terminologi ahli hadis. Oleh karena itu, sunnah di rekam oleh
ahli hadis secara sangat detail, tanpa ada perbedaan mengandung kehujahan dalam
hukun atau tidak. Dijadikan sebagai landasan hukum maupun tidak. Berkenaan
dengan hal-hal yang sifatnya manusiawi (jibilliyah,basyariyah) maupun
yang berkenaan dengan kedudukannya sebgai Nabi dan rasul (nabawiyyah,
risalah-ilahiyyah). Semua itu dilaporkan dengan baik sebagai living sunnah
oleh sabahat Nabi. Dengan demikian, tidaklah keliru jika dinyatakan bahwa hadis
fi’il yang disampaikan oleh sahabat adalah the early living hadith
studies.
Pada masa sahabat, menghidupkan al-Qur’an adalah menghidupkan
sunnah Nabi, yaitu menghidupkan tradisi kenabian. Cara sahabat menghidupkan al-Qur’an
adalah dengan meneladani, mengikuti jejak Nabi. Ada banyak sekali cara sahabat
meneladani Nabi untuk meghidupkan al-Qur’an. Semuanya tergantung kepada
pengalaman masing-masing dalam berinteraksi dengan Nabi. Bagi sahabat yang
berinteraksi hanya satu atau dua hari saja dengan Nabi, mereka juga meneladani
apa yang mereka saksikan dan alami selama bergaul dengan Nabi itu, baik dari
Nabi secara langsung maupun dari sahabat yang ada di sekelilingnya. Bagi
sahabat yang memiliki intensitas pergaulan (suhbah) cukup tinggi dan
lama juga memiliki karakter dan cara yang berbeda dalam meneladani perilaku
Nabi. Semuanya legal. Semuanya dibenarkan, dan memang benar. Semuanya dapat
menjadi dasar hukum. Kita bisa memilih salah satunya. Abu Hanifah (80-150
H/699-767M) menegaskan, jika keteladanan itu berasal dari Nabi secara langsung,
maka tidak ada alasan apapun untuk menolaknya. Namun jika berasal dari
muridnya, yaitu para sahabat, kita boleh memilihnya. Begitu pulalah yang
dilakukan oleh para sahabat Nabi. Semua yang mereka saksikan dari Nabi selama
bergaul dengannya, adalah keteladanan yang mereka ikuti dan lestarikan, mereka
ajarkan keteladanan tersebut kepada para muridnya. Itulah yang kemudian menjadi
sumber kemudahan dalam berislam. Di sisi lain, itu pulalah yang menimbulkan khilaf
di kalangan generasi setelahnya yang jika tidak disadari secara arif dan tidak
di kelola dengan baik, akam menjadi sumber perpecahan dan perumusan. Na’udzbillah.
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa para sahabat. Menghidupkan al-Qur’an
tidak serta merta dilakukan secara lansung dari al-Qur’an. Melainkan dari
keteladanan terhadap tradisi kenabian (sunnah nabawiyah). Adapun ada
kasus menghidupkan al-Qur’an secara langsung, pasti hal itu telah mengalami
penelaahan terlebih dahulu dari memori para sahabat terkait dengan tradisi
kenabian tersebut. Biasanya, mereka akan saling bertanya satu sama lain, adakah
di antara mereka yang pernah melihat atau mendengar Nabi menyikapi kasus yang
sebenarnya dapat di rujuk secara langsung dari al-Qur’an?
Pada tahap ini, living sunnah telah terjadi pada masa sahabat.
Kajian hadis telah dapat dikaji secara sosiologis. Sebelumnya, pada masa Nabi,
kajian hadis secara sosiolgis hanya dapat dibaca melalui pendekatan sabab
wurud al-hadis. Pada masa sahabat, sudah bukan hanya ada sabab al-wurud,
melainkan sudah meluas hingga ke asbab al-iiraad. Secara sosiologis,
sunnnah yang di hidupkan oleh sahabat sudah dapat di sebut sebagai living
hadis. Kajiannya pun menjadi kajian sunnah yang hidup, yaitu kajian terhadapat
sunnah-sunnah yang di hidupkan oleh para sahabat. Itulah yang di sebut dengan
kajian tentang sunnah yang hidup ihya’ al-sunnah.
Disisi lain, untuk
menghidupkan sunnah tersebut, para sahabat juga sebelumnya melakukan kajian
terlebih dahulu, terkait otoritas, otentisitas dan originalitas praktik sunnah
yang mereka hidupkan.
Dari situ mereka juga mengkaji strategi untuk menghidupkannya agar tepat guna,
tepat sasaran dan tidak menimbulkan fitnah. Ini karena tidak semua sunnah dapat
begitu saja diterapkan dalam setiap kondisi. Artinya, jika ia diterapkan secara
tidak proporsional, apalagi serampangan, maka akan menimbulkan keresahan
dimasyarakat. Kajian yang dilakukan oleh para sahabat itu disebut sebagai
kajian ihya’ al-sunnah.
Begitupun kajian-kajian
tentang sunnah Nabi, al-Qur’an dan hadis dalam ruang-ruang ilmu sosial pada
generasi-generai setelah sahabat, hingga kekinian. Di indonesia misalnya,
kajian tentang al-Sunnah al-hayyah sejak awal tahun 2000 an mendapatkan
perhatian yang besar. Kajian living hadis model ini mulai dipopulerkan di
yogyakarta. Hanya saja, kajian living quran-hadis yang berkembang kemudian
hanya yang jenis ini saja, sehingga cenderung reduktif terhadap ilmu living
quran-hadis itu sendiri. Hasilnya, seolah-olah kajian ihya’ al-sunnah tidak
menjadi bagian dari ilmu living quran-hadis, padahal kajian tentang al-Sunnah
al-hayyah secara historis tidak akan terwujud tanpa adanya ihya’
al-sunnah. Oleh karena itu kedua
kajian ini tidak bisa dipisahkan satu sma lain. Namun, keduanya dapat dikaji
secara terpisah, dan secara akademik-ilmiah.
Sebelumnya, kajian hadis jika
sudah memasuki ranah sosial, cenderung bersifat rigid, dan bersifat “memaksa”
praktik sosial berubah mengikuti teks hadis. Biasanya hal semacam itu disebut
dengan ihya’ al-sunnah. Beberapa ormas islam di Indonesia, banyak
mengusung misi ihya’ al-sunnah. Oleh karena itu kajiannya cenderung
kaku. Hasilnya menjadi ihya’ al-sunnah yang
terkadang kemudian diributkan sebagian orang. Misalnya kehadiran Persis,
LDII dan salafi yang jelas secara lugas mengusung misi ihya’ al-sunnah.
Dalam praktiknya, produk-produk ihya’ al-sunnah tersebut kemudian
mendapatkan “respon keras” dan polemik panjang karena misalnya terkesan
“memaksa” ormas lain seperti NU untuk mengikuti produknya. Disinilah kajian ihya’
al-sunnah harus mendapatkan porsi dan perhatian yang juga tidak kalah besar
dalam ilmu living quran-hadis. Kajian ihya’ al-sunnah, harus
memperhatikan konteks sosial masyarakat terkini yang akan menjadi sasaran ihya’
al-sunnah. Namun, ia terlebih dahulu mengkaji konteks sosial masyarakat
pada masa Nabi saat sunnah itu muncul, berikut latar belakang kemunculannya.
Kemudian, ia harus disinergikan, dikompromikan
dan dipadukan. Karena mau bagaimanapun konteks sosial keduanya jelas berbeda.
Itulah yang oleh FazlurRahman (1919-1988 M) disebut sebagai teori Double
Movement (gerak ganda) dalam penafsiran.
Baik kajian al-sunnah
al-hayyah maupun ihya’ al-sunnah, keduanya harus mendapatkan
perhatian dan porsi yang sama dalam bidang ilmu living quran-hadis. Keduanya
adalah kaijian al-Qur’an dam hadis yang sangat melekat dengan ilmu sosiologi
dan antropologi. Keduanya memang berbeda, namun bak dua sisi mata uang. Tidak
bisa dipisahkan ssatu sama lain. Keduanya dapat dijadikan sebagai kajian
ilmiah-akademis. Namun keduanya memiliki sifat dan karakter yang berbeda.
Kajian jenis pertama al-sunnah al-hayyah basis utamanya adalah data
fenomenologis, data sosial, alias data lapangan. Sehingga biasanya sangat emik dan tidak terikat oleh otentisitasa
teks. Sedangkan jenis kajian kedua yaitu ihya’ al-sunnah, bersifat etis
dan sangat terikat oleh otentisitas, otoritas dan orisinalitas teks kenabian.
Alur kajian keduanyapun
berbeda. Jika posisi teks adalah di atas, dan praktik sosial berada di bawah,
maka jenis kajian pertama memiliki alur bottom-up, sementara jenis
kajian kedua disebut top-down.