Selasa, 29 Oktober 2019

Bedah Buku

Baleya.co~ Talk Show dan Bedah Buku Ilmu Living Quran-Hadis Ontologi,  Epistimologi dan aksiologi, siang ini 29/10/19 dihelat oleh Lembaga ELKAF Perguruan Tinggi Ilmu Alquran Jakarta, yang dihadiri oleh para mahasiswa dari berbagai jurusan. Acara yang dilaksanakan diaula mahad asrama Ptiq ini, menuai banyak sorakan tepuk tangan dengan perasaan lega bagi pendengarnya.  Khususnya bagi mahasiswa Pengkaji Alquran dan Hadis tentunya.

Ubaydi Hasbillah sebagai penulis buku tersebut,  mampu memaparkan dengan lugas bagaimana caranya agar kita para pengkaji Al-Quran dan Hadis dapat menerapkan dengan tepat teks-teks mulia itu dalam berkehidupan.

Setidaknya ada 3 kategori orang yang berinteraksi dengan Al-Qur'an
1. Shohibul Qur'an (Membaca Al-Qur'an)
2. Al-Mahir (Memahami Al-Qur'an)
3. Ahlullah (Membaca, Memahami dan Mengamalkan Al-Qur'an


Makalah Dinasti Fatimiyyah


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri sesungguhnya perkembangan intlektual yang berkembang dan berjaya sekarang di Barat berasal dari ilmuwan-ilmuwan Islam melalui sarana penerjemahan pengetahuan dari bahasa Arab ke bahasa latin yang kemudian tersebar ke Eropa. Dengan demikian selama ini para sejarawan memang menutupi usaha pengembangan inteelektual yang telah dilakukan para ilmuwan muslim pada masa kejayaan dan keemasan kebudayaan kerajaan Islam. Di antara kerajaan Islam yang banyak menghasilkan ilmuwan muslim adalah Dinasti Fatimiyah (295-555 H/908-1171 M). Pada zaman ini dihasilkan ulama-ulama besar seperti tokoh-tokoh imam Mazhab, Tasawuf, dan Filsafat. Dalam tulisan ini selanjutnya akandipaparkan kemajuan intelektual yang berkembang pada masa kejayaan Islam khususnya Dinasti Fatimiyah

B.     Rumusan Masalah

  1.   1. Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Fathimiyah?
  2.   2. Bagaimana perkembangan dan kemajuan Dinasti Fathimiyah? 
  3.       Bagaimana puncak kejayaan Dinasti Fathimiyah?
  4.       Apa saja faktor penyebab kemunduran dan runtuhnya Dinasti Fatmiyah?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Munculnya Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah adalah salah satu dari Dinasti Syiah dalam sejarah Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M. sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang terpusat di Baghdad, yaitu bani Abbasiyah. Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Sa’id ibn Husain, kemungkinan keturunan pendiri kedua sekte Islamiyah. Berakhirnya kekuasaan Daulah Abbasiyah di awal abad kesembilan ditandai dengan munculnya disintegrasi wilayah. Di berbagai daerah yang selama ini dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah di Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom). Di bagian timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah, Gasaniyah, Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara ini di bagian barat, muncul dinasti Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, Ikhsidiyah, dan Hamdaniyah.[1]
Dinasti Fatimiyah atau disebut juga al-Fathimiyyun adalah satu-satunya dinasti Syi’ah dalam Islam yang penamaannya dinisbatkan kepada Fatimah al-Zahra, putri nabi Muhammad Saw. Kebangkitan dinasti ini berasal dari suatu tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia (Ifriqiyya).
Kemunculan dinasti ini diakibatkan oleh tuntutan Imamah sebagai Khalifah atau pengganti Rasulullah setelah wafat. Lebih jauh bisa dikatakan gerakan Syi’ah tersebut merupakan sebuah protes politik terhadap penguasa dan sebagai tandingan bagi penguasa dunia Islam pada saat itu yang terpusat di Baghdad. Protes politik tersebut dilakukan dengan jalan konfrontasi, sehingga para penguasa (Mu’awiyah dan Abbasiyah) tidak ragu-ragu membunuh keluarga Ahl al-Bayt dan mengintimidasi para pengikutnya.
Dinasti Fatimiyyah juga disebut dengan Daulah Ubaidiyah yang dinisbatkan kepada pendiri dinasti yaitu Sa’id bin Husain al Salamiyah yang bergelar Ubaidillah al Mahdi (297H-322H). Ubaidillah al Mahdi berpindah dari Suria ke Afrika Utara karena propaganda Syiah di daerah ini mendapat sambutan baik, terutama dari suku Barber Ketama. Dengan dukungan suku ini, Ubaidillah al Mahdi menumbangkan gurbernur Aglabiyah di Afrika, Rustamiyah Kharaji di Tahart, dan Idrisiyah Fez dijadikan sebagai bawahan.[2]
Pada awalnya, Syiah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas, baru pada masa Abdullah bin Maimun yang mentransformasikan ini sebagai sebuah gerakan politik keagamaan, dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionaris ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah. Kegiatan inilah yang pada akhirnya menjadi latar belakang berdirinya dinasti Fatimiyah.

B.     Masa Kejayaan dan Dinasti Fatimiyah
Pada masa Dinasti Fathimiyah, terutama pada waktu kekuasaan Abu Manshur Nizar al-Aziz, kehidupan masyarakat selalu diliputi oleh kedamaian. Hal ini merupakan imbas dari keadaan pemerintahan yang damai. Simbolisme istana yang penting diekspresikan dalam upacara, kesenian, arsitektur, dan agama Islam. Di dalam Istana terdapat sebuah ruangan besar untuk mengajarkan keyakinan Ismai’iliyah. Para Hakim, Misionari, Qari al-Qur’an, dan imam shalat secara reguler hadir dalam berbagai upacara di dalam istana.
Periode ini menandai menculnya era baru dalam sejarah bangsa Mesir untuk pertama kalinya sepanjang sejarah serta menjadi penguasa absolut dengan kekuatan besar dan penuh yang didasarkan atas prinsip keagamaan. Usaha untuk menegakkan penyatuan kepemimpinan agama dan poitik  jelas terlihat. Prinsip kepemimpinan yang mengharuskan seorang imam menjadi sosok yang adil, yang bisa menjauhkan umat dari siksaan, suara kebenaran, yang bersinar seperti matahari dan bercahaya seperti bintang, serta menjadi pilar agama, rezeki, dan kehidupan manusia telah berhasil menjulangkan popularitas sang khalifah.[3]

C.    Para Penguasa Dinasti Fatimiyah
Adapun para pengusaha Dnasti Fatimiyyah adalah sebagai berikut:
1.      Al-Mahdi (934-949)
Al-mahdi tergolong penguasa fatimiyah yang cakap. Bahkan , 2 tahun semenjak penobatannya, ia menghukum mati pemimpin propagandanya, yaitu Abu Abdullah Al-Husaini, lantaran terbukti bersekongkol dengan saudaranya yang bernama Abdul Abbas untuk melancarkan perebutan kekuasaan khalifah.
2.      Al-Qa’im (934-949)
Al-mahdi digantikan oleh putranya yang tertua bernama Abul Qasim (bergelar Al-Qa’im) ia meneruskan gerakan ekspansi yang telah dimulai oleh ayahnya. Pada tahun 934 M, ia mengerahkan pasukan dalam jumlah besar. Pasukan itu bisa menduduki Genoa dan wilayah sepanjang pantai Calabria. Mereka melakukan aksi pembunuhan, penyiksaan dan merampas budak-budak.
3.      Muiz Lidinillah (965-975 M)
Saat Al-Mansur meninggal dunia, putranya yang bernama Abu Tamim Ma’ad menggantikan kedudukannya sebagai khalifah dengan bergelar Mu’iz Lidinillah. Penobatannya sebagai khalifah keempat menandai era baru Dinasti Fatimiyah.
4.      Al-Aziz
Al-Aziz menggantikan kedudukan ayahnya, Mu’iz. Ia tergolong khalifah yang bijaksana dan pemurah. Kemajuan imperium fatimiyah mencapai puncaknya pada masa pemerintah ini. Pembangunan fisik dan arsitektur menjadi lambang kemajuan pada masa itu.
5.      Al-Hakim
Sepeninggal Al-Aziz. Khalifah Fatimiyah dijabat oleh anaknya yang bernama Abu Al-Manshur Al-Hakim. Pemerintah Al-Hakim ditandai dengan sejumlah kekejaman. Ia menghukum mati para pejabat yang cakap tanpa alasan yang jelas.
6.      Az-Zahir (1021-1036 M)
Al-Hakim digantikan oleh putranya, Abu Hasyim Ali, yang bergelar Az-Zahir. Ia naik tahta saat berusia 16 tahun, sehingga pusat kekuasaan dipegang oleh bibinya yang bernama Sit Al-Mulk. Sepeninggal bibinya, ia menjadi “Raja Boneka” di tangan menterinya.[4]
7.      Al-Mustansir (1036-1095 M)
Az-Zahir digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Tamim Ma’ad yang bergelar Al-Muntasir, pemerintahannya sselama 61 tahun merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah islam.



8.      Al-Musta’li (1095-1101 M)
Putra termuda Al-Mustansir yang bergelar Al-Musta’li menduduki tahta kekhalifahan sepeninggal sang ayah Al-Mustansir. Nizar putra Al-Mustansir yang tertua, menentang penobatan adiknya, ia segera bangkit di Alexandria setelah memecat guberbur wilayah ini, namun satu tahun kemudian ia dapat dipaksa menyerah.[5]

D.    Prestasi Yang Di Capai Dinasti Fatimiyah
1.      Bidang Politik
Keadaan politik pada masa awal pemerintahan Dinasti Fatimiyyah sampai priode pemerintahan yang ketujuh, masa pemerintahan al-Zahir, relatif stabil dan tidak ada kejadian besar, karena para khalifah tersebut masih berkuasa penuh terhadap pemerintahan, meskipun keputusan politik yang diambil oleh mereka sering kali merugikan pihak lain yang non Syi’ah bahkan non muslim, seperti keputusan politik yang diambil oleh al-Hakim terhadap orang-orang Yahudi dan Kristen dengan memaksa mereka memakai jubah hitam dan hanya dibolehkan menunggangi keledai, lalu al-Hakim mengeluarkan maklumat untuk menghancurkan seluruh gereja  di Mesir dan menyita tanah serta seluruh harta kekayaan mereka sehingga mereka merasa kehilangan hak-haknya sebagai warga negara.[6]

2.      Bidang Pemerintahan
Pengelolaan negara yang dilakukan oleh dinasti Fatimiyah ialah dengan mengangkat para menteri. Dinasti ini membagi kementrian menjadi dua kelompok:
·         Kelompok Militer yang terdiri atas tiga jabatan pokok, yaitu pejabat tinggi militer dan pengawal khalifah, petugas keamanan.
·         Kelompok Sipil yang terdiri atas qadhi (hakim dan direktur percetakan uang) ketua dakwan yang memimpin pengkajian, inspektur pasar (pengawasan pasar, jalan, timbangan), bendaharawan negara, kepala urusan rumah tangga raja, petugas pembaca Al-Qur’an.



3.      Bidang Sosial Budaya
Mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap moderat dan penuh perhatian terhadap urusan agama nonmuslim, bahkan, mereka berpola hidup mewah dan santai. Dinasti fatimiyah telah berhasil  mendirikan negara yang sangat luas dan beradaban yang berlainan semacam ini di dunia timur. Hal itu sangat menarik perhatian. Sebab, sistem administrasinya yang sangat baik, adanya aktivitas artistik, luasnya toleransi religiusnya.[7]

4.      Bidang Ekonomi
Di bawah Fatimiyah, Mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan vitalitas kultural yang mengungguli Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan Dunia non-Islam dibina dengan baik, termasuk dengan India dan negeri-negeri Mediterania yang beragama Kristen. Di samping itu, dari Mesir ini dihasilkan produk industri dan seni Islam yang terbaik.
Pada suatu festifal, khalifah kelihatan sangat cerah dan berpakaian indah. Istana khalifah yang dihuni 30.000 orang terdiri 1200 pelayan dan pengawal. Juga masjid-masjid, perguruan tinggi, rumah sakit dan pemondokan khalifah yang berukuran sangat besar menghiasi kota Kairo baru.[8]

5.      Bidang Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Sumbangan dinasti Fatimiyah dalam kemajuan ilmu pengetahuan tidak sebesar Abbasiyah di Bagdad dam Umayyah di Spanyol, masa ini kurang produktif dalam menghasilkan karya tulis dan ulama besar kecuali dalam jumlah yang kecil, sekalipun banyak diantara khalifah dan para wazir menaruh perhatian dan penghormatan kepada para ilmuan dan pujangga.[9]

6.      Bidang Keagamaan; Penyebaran Paham Syi’ah
Ketika Al-Muiz berhasil menguasai mesir, disana berkembang empat mazhab fiqh, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Padahal, ia menganut paham Syi’ah. Oleh karena itu, ia mengangkat hakim dari kalangan Sunni dan Syi’ah. Akan tetapi jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulama Syi’ah, sedangkan Sunni menduduki jabatan-jabatan rendahan.

E.     Kemunduran dan Sebab-Sebabnya
Daulah Fatimiyah mengalami kehancuran yang cukup berarti dalam rentang waktu antara kematian Al-Mustanshir tahun 487 H/1094 M, dan runtuhnya daulah mereka tahun 567 H/1171 M. Saat peran para menteri mendominasi. Selama masa tersebut Daulah Fatimiyah dipimpin enam khalifah yang tidak memiliki kemampuan untuk memimpin negara karena umur yang masih kecil, kecuali Al-Hafidz yang memegang kekuasaan saat dewasa.[10]
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan runtuhnya Fatimiyah bisa dibedakan menjadi dua, yakni faktor internal dan eksternal. Penjelasan lebih lanjutnya sebagai berikut:
1.      Faktor Internal
Faktor internal yang paling signifikan dalam menghantarkan kemunduran Fatimiyah adalah lemahnya kekuasaan pemerintah. Menurut Ibrahim Hasan, para khalifah tidak lagi memiliki semangat juang yang tinggi, sebagaimana yang di tunjukan oleh para pendahulu mereka ketika mengalahkan tentara Barbar di Qairawan. Kehidupan mereka yang bermewah-mewahan merupakan penyebab utama hilangnya semangat dalam melakukan ekspansi.
2.      Faktor Eksternal
Adapun faktor eksternal yang menjadi penyebab hancurnya fatimiyah ialah menguatnya kekuasaan Nur Al-Din Al-Zanki di Mesir. Ia adalah gubernur Syria yang masih berada di bawah kekuasaan Bani Abbasyiah. Popularitasnya meningkat ketika ia dapat mengalahkan pasukan salib atas permohonan Khalifah Al-Zafir yang tidak mampu mengalahkan tentara salib.[11]



BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Sejarah kemunculan dinasti Fatimiyah tidak terlepas dari gerakan-gerakan militan dan prontal yang dilakukan oleh Syi’ah Ismailiyah yang dipimpin oleh Abdullah ibn Syi’i dengan terampil dan terorganisir. Pada tahun 909, gerakan tersebut berhasil mendirikan dinasti Fatimiyah di Tunisia (Afrika Utara) dibawah pimpinan Sa’id ibn al-Husain setelah mengalahkan dinasti Aghlabiah di Sijilmasa. Dinasti Fatimiyah merasakan tiga ibu kota  yaitu Raqadah, al-Mahdiyah dan Kairo dibawah 14 khalifah selama 262 tahun yaitu sejak tahun 909 hingga 1171. 
Kejayaan itu dapat dilihat dalam bidang agama dengan toleransi yang tinggi, pendidikan dengan pembangunan universitas dan perpustakaan. kebudayaan dan peradaban dengan kota Kairo sebagai bukti, arsitektur dengan masjid al-Azhar dan kesenian dengan produk tekstil, tenunan, keramik dan penjilidan.
kemunduran dinasti Fatimiyah dimulai dari masa pemerintahan al-Hakim ((996-1021) yang membuat kebijakan kontroversial dalam bidang agama dan terus merosot pasca pemerintahan al-Zhahir (1021-1035) dan musnah pada masa al-Adid (1160 M - 1171 M), kemunduran itu karena faktor eksternal berupa ronrongan dari penguasa luar dan ronrongan internal, perilaku al-Hakim yang kontroversi, khalifah yang masih belia, 3 suku bangsa yang bertikai, ajaran Syi’ah Ismailiyah yang belum sepenuhnya diterima masyarakat dan perebutan antara Nuruddin Zinki dengan pasukan salib di Yerussalem terhadap Mesir.






DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim, Qasim A. dan muhammad Saleh. 2014.  Al-mausu’ah Al-Muyassarah Fi At-Tarikh Al-islami, terj: Zainal arifin. Jakarta: Zaman

Aizid, Rezim. 2015. Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, Jakarta: Diva Press
Amin, Samsul Munir. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: AMZAH
Sulasman dan Suparman. 2012. Sejarah Islam di Asia dan Eropa: Dari Masa Klasik Hingga Modern, Jakarta: AMZAH
Sunanto, Musyrifah. 2013. Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media
Thaqqusy, M. Suhail. 2015. Bangkit dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah, Jakarta: PUSTAKA AL-KAUTSAR




[1] Qasim A. Ibrahim dan muhammad Saleh, Al-mausu’ah Al-Muyassarah Fi At-Tarikh Al-islami, terj: Zainal arifin (Jakarta: Zaman, 2014), cet. II, hal. 569
[2] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 243
[3] Sulasman dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa: Dari Masa Klasik Hingga Modern, hal. 229
[4] Rezim Aizid,  Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Jakarta: Diva Press, 2015). hal. 380-384
[5] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 261-263
[7] Rezim Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Jakarta: Diva Press, 2015). hal. 384-385
[8] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam,  (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 265
[9] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 266
[10] M. Suhail Thaqqusy, Bangkit dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), hal. 588
[11] Rezim Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Jakarta: Diva Press, 2015). hal. 387-389


Minggu, 27 Oktober 2019

Makalah Tafsir Maudu'i Aqidah tentang sifat-sifat Allah

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Ada 4 Unsur Iman Kepada Allah, yang petama yaitu mempercayai atas wujud (keberadaan) Allah. Kedua mempercayai atas keesaan Allah dalam rububiyah, yang ketiga yaitu mempercayai atas keesaan Allah dalam uluhiyah. Dan, yang terakhir yaitu percaya terhadap asma’ wa shifat (nama-nama dan sifat-Nya).
Istilah Bertauhid adalah meyakini bahwa Allah itu ada dan berbeda dengan makhluknya, berbeda dalam wujud dan sifat-sifatnya. Kita tidak bisa membayangkan wujud dzat nya Allah karena dzatnya tidak terjangkau oleh penginderaan kita. Namun dzat Allah wujudnya dapat dikenali dari sifat-sifatnya. Sifat-sifat Allah ini tercermin dari nama-nama Allah yang dikenal sebagai asmaul husna. Dari banyak nama yang mencerminkan sifat Allah ini, para ulama mengelompokkan sifat Allah pada dua sifat besar: jalaliyyah dan jamaliyyah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Mengenal sifat-sifat Jamaliyah Allah SWT
2.      Mengenal sifat-sifat Jalaliyyah Allah SWT
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Sifat Jamaliyyah Allah SWT
jamâliyah adalah sifat-sifat yang berisi aspek-aspek keindahan dan kelembutan Allah, seperti al-Rahîm (Maha Penyayang), al-Ghafûr (Maha Pengampun), al-Lathîf (Maha Lembut), dan al-Rahmân (Maha Penyayang). Berikut contoh pandangan tafsir dari salah satu sifat jamaliyyah Allah ini[1]
1.      ayat mengenai Allah memiliki sifat-sifat mulia
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ 22
            Mengutip dari tafsir at-Thobari, disebutkan:[2]
يقول تعالى ذكره: الذي يتصدّع من خشيته الجبل أيها الناس هو المعبود،الذي لا تنبغي العبادة والألوهية إلا له، عالم غيب السموات والأرض، وشاهد ما فيهما مما يرى ويحسّ (هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ) يقول: هو رحمن الدنيا والآخرة، رحيم بأهل الإيمان به.
Maksud dari keterangan diatas adalah bahwasannya tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah SWT, Dia-lah yang mengetahui segala hal yang ghaib di langit dan bumi, Dia-lah yang menyaksikan segala hal yang dapat dilihat dan dirasakan. (هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ) Sifat rahman bagi seluruh kehidupan di dunia dan akhirat, sedangkan sifat Rahiim untuk bagi yang beriman kepada-Nya.
     Dalam Tafsir al-Misbah, disebutkan bahwa banyak ulama’ berpendapat baik Ar-rahman atau ar-rahiim keduanya diambil dari kata “rahmat”, dengan alasan bahwa “timbangan” kata tersebut dikenal dari bahasa arab. الرَّحْمَنُ berwazanفعلان , wazan فعلان  biasanya menunjukkan kepada kesempurnaan. Itulah makanya tidak ada yang disebut الرَّحْمَنُ kecuali hanya Allah SWT. Karena itu kita dapat menjumpai dalam ayat al-Qur’an yang mengajak manusia untuk menyembah-Nya digunakan kata الرَّحْمَنُ sebagai kata ganti Allah, atau menyebut kedua kata tersebut sejajar dan bersamaan. Seperti dalam firman-Nya dalam surat al-Isra’ [3]
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى...
Katakanlah “serulah Allah atau serulah ar-Rahman dengan mana saja kamu seru. Dia mempunyai al-asma’ al-husna...”
     Sedangkan الرَّحِيمُ berwazan فعيل, atauفاعل  menunjukkan kesinambungan atau kemantapan. Maka kata الرَّحِيمُ bisa untuk sifat Allah dan juga sifat makhluk yang dimana kata jamaknya, dan juga dalam al-Qur’an kata rahim juga untuk menunjukkan sifat Rasul yang memiliki rasa beberbelas kasih terhadap umatnya, sebaigamana disebut dalam firman Allah:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri,berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. At-Taubah:128)
Allah SWT juga dinamai dengan أرحم الراحمين yang berarti yang paling Pengasih diantara seluruh yang rahiim atau Pengasih. Dia juga disifati خير الراحمين atau berarti sebaik-baik pengasih.[4]
Seperti dalam firman-Nya di surat al-Mu’minun ayat 118:
وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ
“Dan katakanlah (Muhammad) “Ya tuhanku berilah ampunan dan (berilah) Rahmat, Engkaulah pemberi rahmat yang baik.”
B.     Sifat Jalaliyyah Allah SWT
Jalaliyah adalah sifat-sifat yang berisi aspek-aspek keagungan dan kebesaran Allah SWT, seperti al-Akbar (Maha Besar), al-Azhîm (Maha Agung), al-Qawiy (Maha Kuat), dan al-Qadîr (Maha Kuasa). Dalam perspektif feminisme, jalaliyyah merujuk pada sifat maskulin dan jamaliyyah merujuk pada sifat feminim. Dua sifat yang hadir sekaligus pada dzat yang tunggal. Aspek jalâliyah adalah sesuatu yang sangat bernilai luar biasa, sangat tinggi, tak terjangkau dan tak ada bandingannya dengan makhluknya. Akan tetapi, di samping itu Allah juga sekaligus indah, dekat, akrab, penuh cinta, dan sifat-sifat kelembutan lainnya yang terangkum dalam aspek jamâliyah.[5]
Inilah salah satu contoh dari sifat jalaliayah Allah yang terdapat dalam Q.S Ali Imran: 26, yaitu:
 قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (26) تُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ (27)
Dalam tafsir al-munir dijelaskan sebab nuzul  dari ayat ini mengacu pada hadist tentang keinginan Rasulullah untuk menaklukkan persia dan romawi, yang mendapat respon dari orang munafiq dan yah udi, yang dimana mereka mengatakan hal tersebut tidaklah mungkin.[6]
وقال ابن عباس وأنس بن مالك: لما افتتح رسول الله صلّى الله عليه وسلّم مكّة، ووعد أمته ملك فارس والرّوم، قالت المنافقون واليهود: هيهات هيهات، من أين لمحمد ملك فارس والرّوم؟ هم أعزّ وأمنع من ذلك، ألم يكف محمدا مكة والمدينة، حتى طمع في ملك فارس والرّوم؟ فأنزل الله تعالى هذه الآية.

Adapun munasabah dari ayat ini yaitu:
المناسبة:
هذه الآية بقصد تسلية النّبي صلّى الله عليه وسلّم أمام موقف المشركين وأهل الكتاب بإنكار دعوته فيما ذكرته الآيات السابقة، والتذكير له بقدرته تعالى على نصرة دينه وإعلاء كلمته، فكان المشركون ينكرون النّبوة لرجل يأكل الطعام ويمشي في الأسواق، وأهل الكتاب ينكرون النّبوة في غير بني إسرائيل
Maksud dari keterangan diatas bahwasanya ayat ini ditunjukkan sebagai hiburan untuk baginda Nabi Muhammad SAW, yang dimana orang-orang musyrik dan ahlul kitab mengingkari dakwah nabi yang telah disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya, dan sebagai pengingat bagi nabi atas ke maha kuasaannya Allah taala dalam menolong nabi untuk menegakkan nagama dan kalimat Allah. Yang dimna orang-orang musyrik mengingkari kenabian seorang laki-laki yang sama seperti mereka dalam hal sama-sama makan dan sama-sama pergi kepasar, dan ahlulkitab juga mengingkari  kenabian selain dari golongan bani israil.


فقه الحياة أو الأحكام:
دلّت الآيات على أن الله تعالى صاحب السلطان المطلق، والقدرة الشاملة، والإرادة والمشيئة العليا، بيده الخير والشّر خلقا وتقديرا، لا كسبا، فالخير منه مطلقا، والشّر لا ينسب إليه أدبا، وإنما ينسب لفاعله.
وإنّ النّبوة والملك والرّزق بيده تعالى، يمنحها بحسب الإرادة ومقتضى الحكمة البالغة، والحجة التامة.
وإنّ إدخال الليل بالنهار وإدخال النهار بالليل دليل على كروية الأرض ودورانها لأن تعاقب الليل والنهار، وتفاوت مقدارهما بحسب الفصول والأزمنة والأمكنة يشير إلى الكروية والدوران.
ويخرج الله الحيّ من الميّت، والميّت من الحيّ بكلّ من المعنى المادي والمعنوي المتقدم. وإنعامه عام يتولى من يشاء، والرزق على الله مضمون، يعطي منه ما يشاء ويمنع بمقتضى الحكمة والإرادة والمشيئة.
روى الطبراني عن ابن عباس عن النّبي صلّى الله عليه وسلّم قال: «اسم الله الأعظم الذي إذا دعي به أجاب: في هذه الآية من آل عمران: قُلِ اللَّهُمَّ مالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشاءُ، وَتُعِزُّ مَنْ تَشاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ»
Maksud dari keterangan diatas adalah bahwasannya ayat ini menununjukkan bahwa hanya Allah lah pemilik segela kerajaan, Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Allah Maha Berkehendak ata segala kehendak-Nya. Dari-Nya lah segala sesuatu yang baik, dan segala hal yang buruk itu kembali ke manusianya yang mengerjakan keburukan. Allah-lah Yang Mengatur segala zaman dan tempat di dunia ini. Allah mampu menghidupkan yang telah mati, atau mematikan yang hidup. Dan segala nikmat-Nya itu ditunjukkan umum untuk semuanya dengan segala kehendak-Nya, Dia dapat memberi rizqi ataupun mencegah rizqi bagi segalanya.[7]












BAB III
PENUTUP



KESIMPULAN

Sifat-sifat Allah adalah sifat sempurna yang yang tidak terhingga bagi Allah. Kita sebagai muslim hukumnya wajib untuk mempercayai bahwa terdapat sifat kesempurnaan yang tidak terhingga bagi Allah.
Berbicara masalah keimanan kitan perlu mengerti bahwa iman kepada Allah itu ada 3 poin inti. Yaitu pertama membenarkan dengan sepenuh hati bahwa Allah itu memang benar-benar ada dengan semua sifat sifatnya. Yang kedua mengakui itu dengan pengucapan lisan, dan yang ketiga membuktikannya dengan melakukan amal perbuatan yang baik secara nyata. Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang beriman) sempurna apabila memenuhi ketiga unsur keimanan di atas. Apabila hati seseorang percaya atas keberadaan Allah SWT secara yakin. Tetapi tidak lantunkan dengan lisan dan disertakan dengan perbuatan amal baik, maka orang tersebut belum termasuk sebagai golongan orang yang beriman kepada Allah SWT secara sempurna. Sebab, ketiga poin keimanan kepada Allah SWT itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.




DAFTAR PUSTAKA


Purba, Hadis. 2011. Tujuh ilmu Syahadat dan Amal. Medan: iain Press
Shihab, M. Quraish. 2017. Tafsir Al-Misbah. Jilid. 1. Jakarta: Lentera Hati.
At-Thobari, Ibnu Jarir. 2000. Jamiul Bayan Fi Ta’wilil Qur’an. Jilid. 23. Mesir: Muassasah Ar-Risalah
Az-Zuhaili, Wahbah. 1418 H. Tafsir Al-Muniir. Cet. 2. Jilid 3. Damaskus: Dar Al-Fikr



[1] Hadis Purba, Tujuh ilmu Syahadat dan Amal, (Medan: iain Press, 2011), hal. 28
[2] Ibnu Jarir At-Thobari, Jamiul Bayan Fi Ta’wilil Qur’an, (Mesir: Muassasah Ar-Risalah, 2000), jilid. 23, hal. 548
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2017), jilid. 1, hal. 41
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, hal. 42
[5] Hadis purba, Tujuh ilmu Syahadat dan Amal, (Medan: iain Press, 2011), hal. 30
[6] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Muniir, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1418 H), Cet. 2, jilid. 3, hal. 53
[7] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Muniir, hal. 54