BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Tidak dapat dipungkiri
sesungguhnya perkembangan intlektual yang berkembang dan berjaya
sekarang di Barat berasal dari ilmuwan-ilmuwan Islam melalui sarana
penerjemahan pengetahuan dari bahasa Arab ke bahasa latin yang kemudian
tersebar ke Eropa. Dengan demikian selama ini para sejarawan memang menutupi
usaha pengembangan inteelektual yang telah dilakukan para ilmuwan muslim pada
masa kejayaan dan keemasan kebudayaan kerajaan Islam. Di antara kerajaan Islam
yang banyak menghasilkan ilmuwan muslim adalah Dinasti Fatimiyah (295-555
H/908-1171 M). Pada zaman ini dihasilkan
ulama-ulama besar seperti tokoh-tokoh imam Mazhab, Tasawuf, dan Filsafat. Dalam
tulisan ini selanjutnya akandipaparkan kemajuan intelektual yang berkembang
pada masa kejayaan Islam khususnya Dinasti Fatimiyah
B. Rumusan
Masalah
- 1. Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Fathimiyah?
- 2. Bagaimana perkembangan dan kemajuan Dinasti Fathimiyah?
- Bagaimana puncak kejayaan Dinasti Fathimiyah?
- Apa saja faktor penyebab kemunduran dan runtuhnya Dinasti Fatmiyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Munculnya Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah adalah salah satu dari Dinasti Syiah
dalam sejarah Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M. sebagai
tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang terpusat di Baghdad, yaitu
bani Abbasiyah. Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Sa’id ibn Husain, kemungkinan
keturunan pendiri kedua sekte Islamiyah. Berakhirnya kekuasaan Daulah Abbasiyah
di awal abad kesembilan ditandai dengan munculnya disintegrasi wilayah. Di
berbagai daerah yang selama ini dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari
kekuasaan pemerintah di Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri
sendiri (otonom). Di bagian timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah,
Samaniyah, Gasaniyah, Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara ini di bagian
barat, muncul dinasti Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, Ikhsidiyah,
dan Hamdaniyah.[1]
Dinasti Fatimiyah atau
disebut juga al-Fathimiyyun adalah satu-satunya dinasti Syi’ah dalam
Islam yang penamaannya dinisbatkan kepada Fatimah
al-Zahra, putri nabi Muhammad Saw. Kebangkitan dinasti ini berasal dari suatu
tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia (Ifriqiyya).
Kemunculan dinasti ini diakibatkan oleh tuntutan Imamah sebagai Khalifah atau
pengganti Rasulullah setelah wafat. Lebih jauh bisa dikatakan gerakan Syi’ah
tersebut merupakan sebuah protes politik terhadap penguasa dan sebagai
tandingan bagi penguasa dunia Islam pada saat itu yang terpusat di Baghdad.
Protes politik tersebut dilakukan dengan jalan konfrontasi, sehingga para
penguasa (Mu’awiyah dan Abbasiyah) tidak ragu-ragu membunuh keluarga Ahl
al-Bayt dan mengintimidasi para pengikutnya.
Dinasti Fatimiyyah juga disebut
dengan Daulah Ubaidiyah yang dinisbatkan kepada pendiri dinasti yaitu Sa’id bin Husain al Salamiyah yang bergelar Ubaidillah
al Mahdi (297H-322H). Ubaidillah al Mahdi berpindah dari Suria ke Afrika
Utara karena propaganda Syiah di daerah ini mendapat sambutan baik, terutama
dari suku Barber Ketama. Dengan dukungan suku ini, Ubaidillah al Mahdi
menumbangkan gurbernur Aglabiyah di Afrika, Rustamiyah Kharaji di Tahart, dan
Idrisiyah Fez dijadikan sebagai bawahan.[2]
Pada awalnya, Syiah Ismailiyah tidak menampakkan
gerakannya secara jelas, baru pada masa Abdullah bin Maimun yang
mentransformasikan ini sebagai sebuah gerakan politik keagamaan, dengan tujuan
menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionaris ke
segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah.
Kegiatan inilah yang pada akhirnya menjadi latar belakang berdirinya dinasti
Fatimiyah.
B. Masa Kejayaan dan Dinasti
Fatimiyah
Pada masa Dinasti Fathimiyah,
terutama pada waktu kekuasaan Abu Manshur Nizar al-Aziz, kehidupan masyarakat
selalu diliputi oleh kedamaian. Hal ini merupakan imbas dari keadaan
pemerintahan yang damai. Simbolisme istana yang penting diekspresikan dalam upacara,
kesenian, arsitektur, dan agama Islam. Di dalam
Istana terdapat sebuah ruangan besar untuk mengajarkan keyakinan Ismai’iliyah.
Para Hakim, Misionari, Qari al-Qur’an, dan imam shalat secara reguler hadir
dalam berbagai upacara di dalam istana.
Periode ini menandai menculnya era
baru dalam sejarah bangsa Mesir untuk pertama kalinya sepanjang sejarah serta
menjadi penguasa absolut dengan kekuatan besar dan penuh yang didasarkan atas
prinsip keagamaan. Usaha untuk menegakkan penyatuan kepemimpinan agama dan
poitik jelas terlihat. Prinsip
kepemimpinan yang mengharuskan seorang imam menjadi sosok yang adil, yang bisa
menjauhkan umat dari siksaan, suara kebenaran, yang bersinar seperti matahari
dan bercahaya seperti bintang, serta menjadi pilar agama, rezeki, dan kehidupan
manusia telah berhasil menjulangkan popularitas sang khalifah.[3]
C. Para
Penguasa Dinasti Fatimiyah
Adapun para pengusaha Dnasti Fatimiyyah
adalah sebagai berikut:
1. Al-Mahdi
(934-949)
Al-mahdi tergolong penguasa
fatimiyah yang cakap. Bahkan , 2 tahun semenjak penobatannya, ia menghukum mati
pemimpin propagandanya, yaitu Abu Abdullah Al-Husaini, lantaran terbukti
bersekongkol dengan saudaranya yang bernama Abdul Abbas untuk melancarkan
perebutan kekuasaan khalifah.
2. Al-Qa’im
(934-949)
Al-mahdi digantikan oleh putranya
yang tertua bernama Abul Qasim (bergelar Al-Qa’im) ia meneruskan gerakan
ekspansi yang telah dimulai oleh ayahnya. Pada tahun 934 M, ia mengerahkan
pasukan dalam jumlah besar. Pasukan itu bisa menduduki Genoa dan wilayah
sepanjang pantai Calabria. Mereka melakukan aksi pembunuhan, penyiksaan dan
merampas budak-budak.
3. Muiz
Lidinillah (965-975 M)
Saat Al-Mansur meninggal dunia,
putranya yang bernama Abu Tamim Ma’ad menggantikan kedudukannya sebagai
khalifah dengan bergelar Mu’iz Lidinillah. Penobatannya sebagai khalifah
keempat menandai era baru Dinasti Fatimiyah.
4. Al-Aziz
Al-Aziz menggantikan kedudukan
ayahnya, Mu’iz. Ia tergolong khalifah yang bijaksana dan pemurah. Kemajuan
imperium fatimiyah mencapai puncaknya pada masa pemerintah ini. Pembangunan
fisik dan arsitektur menjadi lambang kemajuan pada masa itu.
5. Al-Hakim
Sepeninggal Al-Aziz. Khalifah
Fatimiyah dijabat oleh anaknya yang bernama Abu Al-Manshur Al-Hakim. Pemerintah
Al-Hakim ditandai dengan sejumlah kekejaman. Ia menghukum mati para pejabat
yang cakap tanpa alasan yang jelas.
6. Az-Zahir
(1021-1036 M)
Al-Hakim digantikan oleh putranya,
Abu Hasyim Ali, yang bergelar Az-Zahir. Ia naik tahta saat berusia 16 tahun,
sehingga pusat kekuasaan dipegang oleh bibinya yang bernama Sit Al-Mulk.
Sepeninggal bibinya, ia menjadi “Raja Boneka” di tangan menterinya.[4]
7. Al-Mustansir
(1036-1095 M)
Az-Zahir digantikan oleh anaknya
yang bernama Abu Tamim Ma’ad yang bergelar Al-Muntasir, pemerintahannya sselama
61 tahun merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah islam.
8. Al-Musta’li
(1095-1101 M)
Putra termuda Al-Mustansir yang
bergelar Al-Musta’li menduduki tahta kekhalifahan sepeninggal sang ayah
Al-Mustansir. Nizar putra Al-Mustansir yang tertua, menentang penobatan
adiknya, ia segera bangkit di Alexandria setelah memecat guberbur wilayah ini,
namun satu tahun kemudian ia dapat dipaksa menyerah.[5]
D. Prestasi
Yang Di Capai Dinasti Fatimiyah
1. Bidang Politik
Keadaan politik pada masa awal
pemerintahan Dinasti Fatimiyyah sampai priode pemerintahan yang ketujuh, masa
pemerintahan al-Zahir, relatif stabil dan tidak ada kejadian besar, karena para
khalifah tersebut masih berkuasa penuh terhadap pemerintahan, meskipun
keputusan politik yang diambil oleh mereka sering kali merugikan pihak lain
yang non Syi’ah bahkan non muslim, seperti keputusan politik yang diambil oleh
al-Hakim terhadap orang-orang Yahudi dan Kristen dengan memaksa mereka memakai
jubah hitam dan hanya dibolehkan menunggangi keledai, lalu al-Hakim
mengeluarkan maklumat untuk menghancurkan seluruh gereja di Mesir dan
menyita tanah serta seluruh harta kekayaan mereka sehingga mereka merasa
kehilangan hak-haknya sebagai warga negara.[6]
2. Bidang Pemerintahan
Pengelolaan negara yang dilakukan
oleh dinasti Fatimiyah ialah dengan mengangkat para menteri. Dinasti ini
membagi kementrian menjadi dua kelompok:
·
Kelompok Militer yang terdiri atas tiga
jabatan pokok, yaitu pejabat tinggi militer dan pengawal khalifah, petugas
keamanan.
·
Kelompok Sipil yang terdiri atas qadhi (hakim
dan direktur percetakan uang) ketua dakwan yang memimpin pengkajian, inspektur
pasar (pengawasan pasar, jalan, timbangan), bendaharawan negara, kepala urusan
rumah tangga raja, petugas pembaca Al-Qur’an.
3. Bidang Sosial Budaya
Mayoritas khalifah Fatimiyah
bersikap moderat dan penuh perhatian terhadap urusan agama nonmuslim, bahkan,
mereka berpola hidup mewah dan santai. Dinasti fatimiyah telah berhasil mendirikan negara yang sangat luas dan
beradaban yang berlainan semacam ini di dunia timur. Hal itu sangat menarik
perhatian. Sebab, sistem administrasinya yang sangat baik, adanya aktivitas
artistik, luasnya toleransi religiusnya.[7]
4. Bidang Ekonomi
Di bawah Fatimiyah, Mesir
mengalami kemakmuran ekonomi dan vitalitas kultural yang mengungguli Irak dan
daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan Dunia non-Islam dibina dengan
baik, termasuk dengan India dan negeri-negeri Mediterania yang beragama
Kristen. Di samping itu, dari Mesir ini dihasilkan produk industri dan seni
Islam yang terbaik.
Pada suatu festifal, khalifah
kelihatan sangat cerah dan berpakaian indah. Istana khalifah yang dihuni 30.000
orang terdiri 1200 pelayan dan pengawal. Juga masjid-masjid, perguruan tinggi,
rumah sakit dan pemondokan khalifah yang berukuran sangat besar menghiasi kota
Kairo baru.[8]
5. Bidang Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Sumbangan dinasti Fatimiyah dalam
kemajuan ilmu pengetahuan tidak sebesar Abbasiyah di Bagdad dam Umayyah di
Spanyol, masa ini kurang produktif dalam menghasilkan karya tulis dan ulama
besar kecuali dalam jumlah yang kecil, sekalipun banyak diantara khalifah dan
para wazir menaruh perhatian dan penghormatan kepada para ilmuan dan pujangga.[9]
6. Bidang Keagamaan; Penyebaran Paham
Syi’ah
Ketika Al-Muiz berhasil menguasai
mesir, disana berkembang empat mazhab fiqh, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan
Hanbali. Padahal, ia menganut paham Syi’ah. Oleh karena itu, ia mengangkat
hakim dari kalangan Sunni dan Syi’ah. Akan tetapi jabatan-jabatan penting
diserahkan kepada ulama Syi’ah, sedangkan Sunni menduduki jabatan-jabatan
rendahan.
E. Kemunduran
dan Sebab-Sebabnya
Daulah Fatimiyah mengalami
kehancuran yang cukup berarti dalam rentang waktu antara kematian Al-Mustanshir
tahun 487 H/1094 M, dan runtuhnya daulah mereka tahun 567 H/1171 M. Saat peran
para menteri mendominasi. Selama masa tersebut Daulah Fatimiyah dipimpin enam
khalifah yang tidak memiliki kemampuan untuk memimpin negara karena umur yang
masih kecil, kecuali Al-Hafidz yang memegang kekuasaan saat dewasa.[10]
Adapun faktor-faktor yang
menyebabkan kemunduran dan runtuhnya Fatimiyah bisa dibedakan menjadi dua,
yakni faktor internal dan eksternal. Penjelasan lebih lanjutnya sebagai
berikut:
1. Faktor Internal
Faktor
internal yang paling signifikan dalam menghantarkan kemunduran Fatimiyah adalah
lemahnya kekuasaan pemerintah. Menurut Ibrahim Hasan, para khalifah tidak lagi
memiliki semangat juang yang tinggi, sebagaimana yang di tunjukan oleh para
pendahulu mereka ketika mengalahkan tentara Barbar di Qairawan. Kehidupan
mereka yang bermewah-mewahan merupakan penyebab utama hilangnya semangat dalam
melakukan ekspansi.
2. Faktor Eksternal
Adapun
faktor eksternal yang menjadi penyebab hancurnya fatimiyah ialah menguatnya
kekuasaan Nur Al-Din Al-Zanki di Mesir. Ia adalah gubernur Syria yang masih
berada di bawah kekuasaan Bani Abbasyiah. Popularitasnya meningkat ketika ia
dapat mengalahkan pasukan salib atas permohonan Khalifah Al-Zafir yang tidak
mampu mengalahkan tentara salib.[11]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sejarah kemunculan dinasti
Fatimiyah tidak terlepas dari gerakan-gerakan militan dan prontal yang
dilakukan oleh Syi’ah Ismailiyah yang dipimpin oleh Abdullah ibn Syi’i dengan
terampil dan terorganisir. Pada tahun 909, gerakan tersebut berhasil mendirikan
dinasti Fatimiyah di Tunisia (Afrika Utara) dibawah pimpinan Sa’id ibn
al-Husain setelah mengalahkan dinasti Aghlabiah di Sijilmasa. Dinasti Fatimiyah
merasakan tiga ibu kota yaitu Raqadah, al-Mahdiyah dan Kairo dibawah 14
khalifah selama 262 tahun yaitu sejak tahun 909 hingga 1171.
Kejayaan itu dapat dilihat dalam
bidang agama dengan toleransi yang tinggi, pendidikan dengan pembangunan
universitas dan perpustakaan. kebudayaan dan peradaban dengan kota Kairo
sebagai bukti, arsitektur dengan masjid al-Azhar dan kesenian dengan produk
tekstil, tenunan, keramik dan penjilidan.
kemunduran dinasti Fatimiyah dimulai dari
masa pemerintahan al-Hakim ((996-1021) yang membuat kebijakan
kontroversial dalam bidang agama dan terus merosot pasca pemerintahan al-Zhahir
(1021-1035) dan musnah pada masa al-Adid (1160 M - 1171
M), kemunduran itu karena faktor eksternal berupa ronrongan dari penguasa
luar dan ronrongan internal, perilaku al-Hakim yang kontroversi, khalifah yang
masih belia, 3 suku bangsa yang bertikai, ajaran Syi’ah Ismailiyah yang belum
sepenuhnya diterima masyarakat dan perebutan antara Nuruddin Zinki dengan
pasukan salib di Yerussalem terhadap Mesir.
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim,
Qasim A. dan muhammad Saleh. 2014. Al-mausu’ah
Al-Muyassarah Fi At-Tarikh Al-islami, terj: Zainal arifin. Jakarta: Zaman
Aizid, Rezim. 2015. Sejarah
Peradaban Islam Terlengkap, Jakarta: Diva Press
Amin, Samsul Munir. 2014. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: AMZAH
Sulasman dan Suparman. 2012. Sejarah Islam di Asia dan
Eropa: Dari Masa Klasik Hingga Modern, Jakarta: AMZAH
Sunanto,
Musyrifah. 2013. Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media
Thaqqusy, M. Suhail. 2015. Bangkit dan Runtuhnya
Daulah Fatimiyah, Jakarta: PUSTAKA AL-KAUTSAR
[1]
Qasim
A. Ibrahim dan muhammad Saleh, Al-mausu’ah Al-Muyassarah Fi At-Tarikh
Al-islami, terj: Zainal arifin (Jakarta: Zaman, 2014), cet. II, hal. 569
[2] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Prenada Media, 2003),
hal. 243
[3]
Sulasman dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa: Dari Masa Klasik
Hingga Modern, hal. 229
[4]
Rezim Aizid, Sejarah Peradaban Islam
Terlengkap, (Jakarta: Diva Press, 2015). hal. 380-384
[5]
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2014), hal.
261-263
[7]
Rezim Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Jakarta: Diva Press,
2015). hal. 384-385
[8] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
Amzah, 2014), hal. 265
[9]
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2014), hal.
266
[10] M.
Suhail Thaqqusy, Bangkit dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2015), hal. 588
[11]
Rezim Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Jakarta: Diva Press,
2015). hal. 387-389
Tidak ada komentar:
Posting Komentar