Selasa, 29 Oktober 2019

Makalah Dinasti Fatimiyyah


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri sesungguhnya perkembangan intlektual yang berkembang dan berjaya sekarang di Barat berasal dari ilmuwan-ilmuwan Islam melalui sarana penerjemahan pengetahuan dari bahasa Arab ke bahasa latin yang kemudian tersebar ke Eropa. Dengan demikian selama ini para sejarawan memang menutupi usaha pengembangan inteelektual yang telah dilakukan para ilmuwan muslim pada masa kejayaan dan keemasan kebudayaan kerajaan Islam. Di antara kerajaan Islam yang banyak menghasilkan ilmuwan muslim adalah Dinasti Fatimiyah (295-555 H/908-1171 M). Pada zaman ini dihasilkan ulama-ulama besar seperti tokoh-tokoh imam Mazhab, Tasawuf, dan Filsafat. Dalam tulisan ini selanjutnya akandipaparkan kemajuan intelektual yang berkembang pada masa kejayaan Islam khususnya Dinasti Fatimiyah

B.     Rumusan Masalah

  1.   1. Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Fathimiyah?
  2.   2. Bagaimana perkembangan dan kemajuan Dinasti Fathimiyah? 
  3.       Bagaimana puncak kejayaan Dinasti Fathimiyah?
  4.       Apa saja faktor penyebab kemunduran dan runtuhnya Dinasti Fatmiyah?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Munculnya Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah adalah salah satu dari Dinasti Syiah dalam sejarah Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M. sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang terpusat di Baghdad, yaitu bani Abbasiyah. Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Sa’id ibn Husain, kemungkinan keturunan pendiri kedua sekte Islamiyah. Berakhirnya kekuasaan Daulah Abbasiyah di awal abad kesembilan ditandai dengan munculnya disintegrasi wilayah. Di berbagai daerah yang selama ini dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah di Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom). Di bagian timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah, Gasaniyah, Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara ini di bagian barat, muncul dinasti Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, Ikhsidiyah, dan Hamdaniyah.[1]
Dinasti Fatimiyah atau disebut juga al-Fathimiyyun adalah satu-satunya dinasti Syi’ah dalam Islam yang penamaannya dinisbatkan kepada Fatimah al-Zahra, putri nabi Muhammad Saw. Kebangkitan dinasti ini berasal dari suatu tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia (Ifriqiyya).
Kemunculan dinasti ini diakibatkan oleh tuntutan Imamah sebagai Khalifah atau pengganti Rasulullah setelah wafat. Lebih jauh bisa dikatakan gerakan Syi’ah tersebut merupakan sebuah protes politik terhadap penguasa dan sebagai tandingan bagi penguasa dunia Islam pada saat itu yang terpusat di Baghdad. Protes politik tersebut dilakukan dengan jalan konfrontasi, sehingga para penguasa (Mu’awiyah dan Abbasiyah) tidak ragu-ragu membunuh keluarga Ahl al-Bayt dan mengintimidasi para pengikutnya.
Dinasti Fatimiyyah juga disebut dengan Daulah Ubaidiyah yang dinisbatkan kepada pendiri dinasti yaitu Sa’id bin Husain al Salamiyah yang bergelar Ubaidillah al Mahdi (297H-322H). Ubaidillah al Mahdi berpindah dari Suria ke Afrika Utara karena propaganda Syiah di daerah ini mendapat sambutan baik, terutama dari suku Barber Ketama. Dengan dukungan suku ini, Ubaidillah al Mahdi menumbangkan gurbernur Aglabiyah di Afrika, Rustamiyah Kharaji di Tahart, dan Idrisiyah Fez dijadikan sebagai bawahan.[2]
Pada awalnya, Syiah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas, baru pada masa Abdullah bin Maimun yang mentransformasikan ini sebagai sebuah gerakan politik keagamaan, dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionaris ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah. Kegiatan inilah yang pada akhirnya menjadi latar belakang berdirinya dinasti Fatimiyah.

B.     Masa Kejayaan dan Dinasti Fatimiyah
Pada masa Dinasti Fathimiyah, terutama pada waktu kekuasaan Abu Manshur Nizar al-Aziz, kehidupan masyarakat selalu diliputi oleh kedamaian. Hal ini merupakan imbas dari keadaan pemerintahan yang damai. Simbolisme istana yang penting diekspresikan dalam upacara, kesenian, arsitektur, dan agama Islam. Di dalam Istana terdapat sebuah ruangan besar untuk mengajarkan keyakinan Ismai’iliyah. Para Hakim, Misionari, Qari al-Qur’an, dan imam shalat secara reguler hadir dalam berbagai upacara di dalam istana.
Periode ini menandai menculnya era baru dalam sejarah bangsa Mesir untuk pertama kalinya sepanjang sejarah serta menjadi penguasa absolut dengan kekuatan besar dan penuh yang didasarkan atas prinsip keagamaan. Usaha untuk menegakkan penyatuan kepemimpinan agama dan poitik  jelas terlihat. Prinsip kepemimpinan yang mengharuskan seorang imam menjadi sosok yang adil, yang bisa menjauhkan umat dari siksaan, suara kebenaran, yang bersinar seperti matahari dan bercahaya seperti bintang, serta menjadi pilar agama, rezeki, dan kehidupan manusia telah berhasil menjulangkan popularitas sang khalifah.[3]

C.    Para Penguasa Dinasti Fatimiyah
Adapun para pengusaha Dnasti Fatimiyyah adalah sebagai berikut:
1.      Al-Mahdi (934-949)
Al-mahdi tergolong penguasa fatimiyah yang cakap. Bahkan , 2 tahun semenjak penobatannya, ia menghukum mati pemimpin propagandanya, yaitu Abu Abdullah Al-Husaini, lantaran terbukti bersekongkol dengan saudaranya yang bernama Abdul Abbas untuk melancarkan perebutan kekuasaan khalifah.
2.      Al-Qa’im (934-949)
Al-mahdi digantikan oleh putranya yang tertua bernama Abul Qasim (bergelar Al-Qa’im) ia meneruskan gerakan ekspansi yang telah dimulai oleh ayahnya. Pada tahun 934 M, ia mengerahkan pasukan dalam jumlah besar. Pasukan itu bisa menduduki Genoa dan wilayah sepanjang pantai Calabria. Mereka melakukan aksi pembunuhan, penyiksaan dan merampas budak-budak.
3.      Muiz Lidinillah (965-975 M)
Saat Al-Mansur meninggal dunia, putranya yang bernama Abu Tamim Ma’ad menggantikan kedudukannya sebagai khalifah dengan bergelar Mu’iz Lidinillah. Penobatannya sebagai khalifah keempat menandai era baru Dinasti Fatimiyah.
4.      Al-Aziz
Al-Aziz menggantikan kedudukan ayahnya, Mu’iz. Ia tergolong khalifah yang bijaksana dan pemurah. Kemajuan imperium fatimiyah mencapai puncaknya pada masa pemerintah ini. Pembangunan fisik dan arsitektur menjadi lambang kemajuan pada masa itu.
5.      Al-Hakim
Sepeninggal Al-Aziz. Khalifah Fatimiyah dijabat oleh anaknya yang bernama Abu Al-Manshur Al-Hakim. Pemerintah Al-Hakim ditandai dengan sejumlah kekejaman. Ia menghukum mati para pejabat yang cakap tanpa alasan yang jelas.
6.      Az-Zahir (1021-1036 M)
Al-Hakim digantikan oleh putranya, Abu Hasyim Ali, yang bergelar Az-Zahir. Ia naik tahta saat berusia 16 tahun, sehingga pusat kekuasaan dipegang oleh bibinya yang bernama Sit Al-Mulk. Sepeninggal bibinya, ia menjadi “Raja Boneka” di tangan menterinya.[4]
7.      Al-Mustansir (1036-1095 M)
Az-Zahir digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Tamim Ma’ad yang bergelar Al-Muntasir, pemerintahannya sselama 61 tahun merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah islam.



8.      Al-Musta’li (1095-1101 M)
Putra termuda Al-Mustansir yang bergelar Al-Musta’li menduduki tahta kekhalifahan sepeninggal sang ayah Al-Mustansir. Nizar putra Al-Mustansir yang tertua, menentang penobatan adiknya, ia segera bangkit di Alexandria setelah memecat guberbur wilayah ini, namun satu tahun kemudian ia dapat dipaksa menyerah.[5]

D.    Prestasi Yang Di Capai Dinasti Fatimiyah
1.      Bidang Politik
Keadaan politik pada masa awal pemerintahan Dinasti Fatimiyyah sampai priode pemerintahan yang ketujuh, masa pemerintahan al-Zahir, relatif stabil dan tidak ada kejadian besar, karena para khalifah tersebut masih berkuasa penuh terhadap pemerintahan, meskipun keputusan politik yang diambil oleh mereka sering kali merugikan pihak lain yang non Syi’ah bahkan non muslim, seperti keputusan politik yang diambil oleh al-Hakim terhadap orang-orang Yahudi dan Kristen dengan memaksa mereka memakai jubah hitam dan hanya dibolehkan menunggangi keledai, lalu al-Hakim mengeluarkan maklumat untuk menghancurkan seluruh gereja  di Mesir dan menyita tanah serta seluruh harta kekayaan mereka sehingga mereka merasa kehilangan hak-haknya sebagai warga negara.[6]

2.      Bidang Pemerintahan
Pengelolaan negara yang dilakukan oleh dinasti Fatimiyah ialah dengan mengangkat para menteri. Dinasti ini membagi kementrian menjadi dua kelompok:
·         Kelompok Militer yang terdiri atas tiga jabatan pokok, yaitu pejabat tinggi militer dan pengawal khalifah, petugas keamanan.
·         Kelompok Sipil yang terdiri atas qadhi (hakim dan direktur percetakan uang) ketua dakwan yang memimpin pengkajian, inspektur pasar (pengawasan pasar, jalan, timbangan), bendaharawan negara, kepala urusan rumah tangga raja, petugas pembaca Al-Qur’an.



3.      Bidang Sosial Budaya
Mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap moderat dan penuh perhatian terhadap urusan agama nonmuslim, bahkan, mereka berpola hidup mewah dan santai. Dinasti fatimiyah telah berhasil  mendirikan negara yang sangat luas dan beradaban yang berlainan semacam ini di dunia timur. Hal itu sangat menarik perhatian. Sebab, sistem administrasinya yang sangat baik, adanya aktivitas artistik, luasnya toleransi religiusnya.[7]

4.      Bidang Ekonomi
Di bawah Fatimiyah, Mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan vitalitas kultural yang mengungguli Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan Dunia non-Islam dibina dengan baik, termasuk dengan India dan negeri-negeri Mediterania yang beragama Kristen. Di samping itu, dari Mesir ini dihasilkan produk industri dan seni Islam yang terbaik.
Pada suatu festifal, khalifah kelihatan sangat cerah dan berpakaian indah. Istana khalifah yang dihuni 30.000 orang terdiri 1200 pelayan dan pengawal. Juga masjid-masjid, perguruan tinggi, rumah sakit dan pemondokan khalifah yang berukuran sangat besar menghiasi kota Kairo baru.[8]

5.      Bidang Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Sumbangan dinasti Fatimiyah dalam kemajuan ilmu pengetahuan tidak sebesar Abbasiyah di Bagdad dam Umayyah di Spanyol, masa ini kurang produktif dalam menghasilkan karya tulis dan ulama besar kecuali dalam jumlah yang kecil, sekalipun banyak diantara khalifah dan para wazir menaruh perhatian dan penghormatan kepada para ilmuan dan pujangga.[9]

6.      Bidang Keagamaan; Penyebaran Paham Syi’ah
Ketika Al-Muiz berhasil menguasai mesir, disana berkembang empat mazhab fiqh, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Padahal, ia menganut paham Syi’ah. Oleh karena itu, ia mengangkat hakim dari kalangan Sunni dan Syi’ah. Akan tetapi jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulama Syi’ah, sedangkan Sunni menduduki jabatan-jabatan rendahan.

E.     Kemunduran dan Sebab-Sebabnya
Daulah Fatimiyah mengalami kehancuran yang cukup berarti dalam rentang waktu antara kematian Al-Mustanshir tahun 487 H/1094 M, dan runtuhnya daulah mereka tahun 567 H/1171 M. Saat peran para menteri mendominasi. Selama masa tersebut Daulah Fatimiyah dipimpin enam khalifah yang tidak memiliki kemampuan untuk memimpin negara karena umur yang masih kecil, kecuali Al-Hafidz yang memegang kekuasaan saat dewasa.[10]
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan runtuhnya Fatimiyah bisa dibedakan menjadi dua, yakni faktor internal dan eksternal. Penjelasan lebih lanjutnya sebagai berikut:
1.      Faktor Internal
Faktor internal yang paling signifikan dalam menghantarkan kemunduran Fatimiyah adalah lemahnya kekuasaan pemerintah. Menurut Ibrahim Hasan, para khalifah tidak lagi memiliki semangat juang yang tinggi, sebagaimana yang di tunjukan oleh para pendahulu mereka ketika mengalahkan tentara Barbar di Qairawan. Kehidupan mereka yang bermewah-mewahan merupakan penyebab utama hilangnya semangat dalam melakukan ekspansi.
2.      Faktor Eksternal
Adapun faktor eksternal yang menjadi penyebab hancurnya fatimiyah ialah menguatnya kekuasaan Nur Al-Din Al-Zanki di Mesir. Ia adalah gubernur Syria yang masih berada di bawah kekuasaan Bani Abbasyiah. Popularitasnya meningkat ketika ia dapat mengalahkan pasukan salib atas permohonan Khalifah Al-Zafir yang tidak mampu mengalahkan tentara salib.[11]



BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Sejarah kemunculan dinasti Fatimiyah tidak terlepas dari gerakan-gerakan militan dan prontal yang dilakukan oleh Syi’ah Ismailiyah yang dipimpin oleh Abdullah ibn Syi’i dengan terampil dan terorganisir. Pada tahun 909, gerakan tersebut berhasil mendirikan dinasti Fatimiyah di Tunisia (Afrika Utara) dibawah pimpinan Sa’id ibn al-Husain setelah mengalahkan dinasti Aghlabiah di Sijilmasa. Dinasti Fatimiyah merasakan tiga ibu kota  yaitu Raqadah, al-Mahdiyah dan Kairo dibawah 14 khalifah selama 262 tahun yaitu sejak tahun 909 hingga 1171. 
Kejayaan itu dapat dilihat dalam bidang agama dengan toleransi yang tinggi, pendidikan dengan pembangunan universitas dan perpustakaan. kebudayaan dan peradaban dengan kota Kairo sebagai bukti, arsitektur dengan masjid al-Azhar dan kesenian dengan produk tekstil, tenunan, keramik dan penjilidan.
kemunduran dinasti Fatimiyah dimulai dari masa pemerintahan al-Hakim ((996-1021) yang membuat kebijakan kontroversial dalam bidang agama dan terus merosot pasca pemerintahan al-Zhahir (1021-1035) dan musnah pada masa al-Adid (1160 M - 1171 M), kemunduran itu karena faktor eksternal berupa ronrongan dari penguasa luar dan ronrongan internal, perilaku al-Hakim yang kontroversi, khalifah yang masih belia, 3 suku bangsa yang bertikai, ajaran Syi’ah Ismailiyah yang belum sepenuhnya diterima masyarakat dan perebutan antara Nuruddin Zinki dengan pasukan salib di Yerussalem terhadap Mesir.






DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim, Qasim A. dan muhammad Saleh. 2014.  Al-mausu’ah Al-Muyassarah Fi At-Tarikh Al-islami, terj: Zainal arifin. Jakarta: Zaman

Aizid, Rezim. 2015. Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, Jakarta: Diva Press
Amin, Samsul Munir. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: AMZAH
Sulasman dan Suparman. 2012. Sejarah Islam di Asia dan Eropa: Dari Masa Klasik Hingga Modern, Jakarta: AMZAH
Sunanto, Musyrifah. 2013. Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media
Thaqqusy, M. Suhail. 2015. Bangkit dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah, Jakarta: PUSTAKA AL-KAUTSAR




[1] Qasim A. Ibrahim dan muhammad Saleh, Al-mausu’ah Al-Muyassarah Fi At-Tarikh Al-islami, terj: Zainal arifin (Jakarta: Zaman, 2014), cet. II, hal. 569
[2] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 243
[3] Sulasman dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa: Dari Masa Klasik Hingga Modern, hal. 229
[4] Rezim Aizid,  Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Jakarta: Diva Press, 2015). hal. 380-384
[5] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 261-263
[7] Rezim Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Jakarta: Diva Press, 2015). hal. 384-385
[8] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam,  (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 265
[9] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 266
[10] M. Suhail Thaqqusy, Bangkit dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), hal. 588
[11] Rezim Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Jakarta: Diva Press, 2015). hal. 387-389


Tidak ada komentar:

Posting Komentar