BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Al-Qur’an di turunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia,
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pemisah antara yang hak dan
yang batil demi kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat. Realitas sejarah
memaparkan bahwa sampai hari ini urgensi Al-Qur’an masih menempati posisi
sentral dalam kehidupan manusia.
Di zaman rasulullah masih hidup, umat islam tidak banyak menemukan
kesulitan dalam memahami petunjuk, sebab manakala mereka menemukan kesulitan
dalam suatu ayat, langsung bertanya kepada Rasulullah. Akan tetapi sepeninggal
Rasulullah, umat islam banyak menemukan kesulitan, meskipun mereka mengerti
bahasa arab, Al-Qur’an terkadang mengandung isyarat-isyarat yang belum bisa di
jangkau oleh pikiran orang arab, oleh sebab itu mereka pun membutuhkan tafsir
yang membimbing dan menghantarkan mereka untuk memahami isyarat-isyarat seperti
itu.
Langkah pertama yang mereka ambil ialah melihat pada hadits Rasulullah SAW, Karena mereka berkeyakinan bahwa beliaulah
satu-satunya orang yang paling banyak mengetahui makna wahyu Allah. Langkah
selanjutnya jika tidak menemukan di hadits-hadits nabi mereka menanyakan kepada
sahabat yang terlibat langsung serta memahami konteks posisi ayat tersebut. Dan
manakala tidak menemukan di hadits nabi dan sahabat, maka langkah yang mereka
tempuh ialah melakukan ijtihad.
Setelah berakhir masa sahabat maka muncul kelompok ulama’ yang di kenal
dengan masa Tabi’in, yang akan di paparkan oleh penulis makalah.
B. Rumusan Masalah
1. Tafsir Tabi’in
2. Thabaqah Tafsir Tabi’in
3. Sumber-Sumber Tafsir Pada Masa Tabi’in
4. Karakteristik Tafsir Tabi’in
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tafsir Tabi’in
Membicarakan sejarah tafsir pada masa ini berarti memulai
pembahasannya dari tahun 21 H dengan ditandai kelahiran seorang
tokoh mufassir besar yaitu Mujahid bin Jabir, hingga kira-kira pada
tahun 159 H yang ditandai wafatnya seorang mufassir yaitu Hasan
al-Bashri. Pada masa ini, masih dikategorikan sebagai periode pertama dari perkembangan
tafsir. Sejak kegiatan penafsiran Rasulullah, penafsiran sahabat hingga sampai
kepada penafsiran tabi’in.[1]
Jika dilihat
dari model penafsirannya, para tabi’in mengacu pada sumber-sumber yang sudah
ada pada pendahulunya, disamping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri.
Dikatakan demikian karena mereka meggunakan metode bil ma’tsur yaitu
penafsiran diambil dari Al-Qur’an itu sendiri dan sunnah Nabi serta kadangkala
mereka menukil dari pendapat para pendahulunya. Jika mereka tidak menemukan tafsir
dengan metode ini, maka mereka mencendrungkan dirinya untuk berijtihad,
mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang menguasai bahasa Arab,
memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek ke-balaghah-an yang
ada di dalamnya.[2]
B. Thabaqah Tafsir Pada Masa Tabi’in
1.
Mekkah
Banyak ulama tafsir terkenal di kalangan tabi’in. Namun thabaqah ulama Mekkah mereka adalah
murid-murid Ibn Abbas telah menempati posisi terdepan di bidang
ini. Mereka adalah orang-orang yang paling mengerti tentang tafsir, sebagaimana
disebutkan oleh Ibn Taimiyyah. Murid Ibn Abbas yang paling popular, yaitu:
a.
Mujahid ibn Jabr
Mujahid ibn Jabr al-Makki Maula al-Sa’ib ibn Abi
al-Sa’ib (w. 722 M.) murid Ibn Abbas yang paling tsiqah. Ia adalah imam yang tsiqah,
alim dan ahli ibadah. Tafsirnya digunakan oleh Imam Syafi’i, Imam Bukhari dalam
Shahih-nya dan Mujahid adalah orang
yang paling alim pada masanya dalam bidang tafsir. Diriwayatkan bahwa ia
berkata: “Aku menyodorkan bacaan Al-Qur’an kepada Ibn Abbas sebanyak tiga puluh
kali.” Ada juga riwayat yang menyatakan tiga kali saja.
Tidak ada pertentangan antara kedua riwayat ini, penyodoran pertama yang sampai
30 kali adalah untuk hafalan, bacaan dan tajwid. Sedang penyodoran yang
kedua adalah untuk penafsiran dan penghayatan kandungannya. Mujahid berkata,
aku menyodorkan Al-Qur’an kepada Ibn Abbas tiga kali. Di setiap ayat aku
berhenti menanyakan maknanya, mengenai apa ia turun dan bagaiman ia turun.[3]
b.
Sa’id ibn Jubair
Muhammad Sa’id ibn Jubair ibn Hisyam al-Asadi (w. 712 M.), berasal dari Habasyah. Ia mempunyai banyak sahabat dan mengambil dari imam-imam dari kalangan mereka. Yang terpenting adalah Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud. Ia termasuk pemuka dan
imam tabi’in. Ia sangat menguasai tafsir , hadist dan fiqh. Ia telah berguru kepada Ibn Abbas dan mengambil Al-Qur’an dan tafsir
darinya. Di samping menghimpun qira’ah-qira’ah yang kuat dari para sahabat dan
menggunakan bacaan-bacaan itu.
c.
Ikrimah
Abu Abdillah Ikrimah al-Barbari al-Madani Maula Ibn Abbas (w. 723 M.), berasal dari Barbar kawasan
Maghrib. Ia termasuk tabi’in
pilihan dan pembesar mufasissirin dan ulama yang mengamalkan ilmunya. Ia
meriwayatkan dari Ibn Abbas, Ali ibn Abi Thalib, Abu Hurairah dan lain-lain. Ia juga berkelana ke berbagai negara. Ia pernah pergi ke Afrika dan
berkunjung ke Yaman, Syam, Irak dan Khurasan untuk menyebarkan ilmunya.[4]
Ia telah mencapai derajat yang tinggi dalam bidang keilmuan, khususnya
dibidang tafsir. Hubaib ibn Abi Tsabit Hubaib berkata, telah berkumpul
dihadapanku lima orang yang belum pernah aku jumpai orang yang semisal mereka,
yaitu Atha’, Thawus, Sa’id ibn Jubair, Ikrimah dan Mujahid. Sa’id dan Mujahid melemparkan
pertanyaan-pertanyaan kepada Ikrimah. Keduanya tidak bertanya tentang tafsir
kecuali ditafsirkannya. Ketika pertanyaan keduanya habis, Ikrimah berkata, ayat
ini turun berkenaan dengan masalah ini, sedang ayat itu turun berkenaan dengan
masalah ini.[5]
2. Kufah
Seperti halnya di Mekkah muncul bintang yaitu
Ibn Abbas. Di Irak muncul bintang lain yaitu Abdullah ibn Mas’ud yang diberi
kepercayaan oleh Umar untuk memimpin Kufah.
Di tangannya muncul sejumlah tabi’in terkemuka,
diantaranya :[6]
a.
‘Alqamah ibn Qais (w. 720 M.)
Lahir disaat Rasulullah SAW masih hidup. Ia
meriwayatkan dari Umar, Utsman, Ibn Mas’ud dan lain-lain. Ia termasuk periwayat
paling populer dari Ibn Mas’ud. Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Imam Ahmad berkata, ia seorang tsiqah dari ahli kebaikan. Ia ada di al-Kutub al-Sittah.
b.
Amir al-Sya’bi (w. 723 M.)
Adalah Abu Amr Amir ibn Syarahil al-Sya’bi
al-Himyari al-Kufi al-Tabi’i al-Jalil Qadli Kufah. Ia meriwayatkan dari
Meski banyak ilmu, ia sangat berhati-hati untuk mentakwilkan Kitabullah
dengan pendapatnya sendiri. Ibn Athiyyah berkata, sejumlah ulama salaf, seperti
Sa’id ibn al-Musayyab dan Amir al-Sya’bi sangat mengagungkan tafsir Al-Qur’an
dan mereka menahan diri dari menafsirkannya dengan pendapat mereka karena sikap
hati-hati. Tiga hal yang aku tidak akan mengeluarkan pendapatku sampai aku mati
yaitu Al-Qur’an, ruh dan ra’yu. Ia wafat tahun 109 H.
c.
Al-Hasan al-Bashri (w. 738 M.)
Adalah Abu Sa’id al-Hasan al-Bashri ibn Abi
al-Hasan Yassar al-Bashri maula al-Anshar. Ibunya adalah Khayyirah muala umm
Salamah. Ia lahir setelah kekhalifahan Umar ibn al-Khaththab.
Ia meriwayatkan dari Ali, Ibn Umar, Anas dan sejumlah sahabat dan tabi’in.
Ibn Sa’d berkata, ia tsiqah ma’mun,
ilmuwan yang agung, fashih, tampan, bertakwa dan bersih hatinya. Sampai
dikatakan bahwa ia adalah tuan kalangan tabi’in. Hadistnya ada di al-Kutub al-Sittah. Ia wafat tahun 110 H
dalam usia 88 tahun.
d.
Qatadah ibn Di’amah al-Sadusi (w. 735 M.)
Nama kun-yahnya Abu al-Khaththab al-Akmah, keturunan Arab, tinggal di
Bashrah. Ia termasuk periwayat Ibn Mas’ud, disamping meriwayatkan dari Anas ibn
Malik, Abu al-Thufail, Ibn Sirin, Ikrimah, Atha’ ibn Abi Rabah dan yang lain.
Ia memiliki daya hapal yang kuat, luas wawasannya dibidang syair dan memahami
benar sejarah Arab, silsilah mereka dan menguasai bahasa Arab fashih. Karena ia
sangat pandai dan bidang tafsir dan banyak ilmu. Abu Hatim berkata, aku
mendengar Ahmad ibn Hanbal, dan ia menuturkan Qatadah, lalu ia memujinya
panjang lebar, lalu ia membeberkan ilmunya, fiqihnya dan pengetahuannya tentang
berbagai pendapat dan tafsir serta menilainya hafidh da faqih, lalu berkata, sedikit
sekali engkau bisa menemui orang yang melebihinya, kalau sepadan mungkin saja.
Ia wafat tahun 117 H dalam usia 56, menurut pendapat yang masyhur.[7]
3. Madinah
Adapun di Madinah al-Munawwarah, tempat
memancarnya hidayah dan menancapnya iman, maka kaum tabi’in disana adalah
seorang sahabat agung Ubay ibn Ka’ab. Ditambah sahabat-sahabat lain yang memilih
tetap tinggal di Dar al-Iman.
Dari kalangan tabi’in yang terkenal dibidang tafsir
di Madinah ada tiga, yaitu:
a.
Abu al-Aliyah adalah Rafi’ ibn Mihran al-Rayyabi maula al-Rayyabi (w. 708 M.)
Ia msuk Islam dua tahun setelah Rasulullah SAW
wafat. Ia termasuk periwayat Ubai ibn Ka’ab dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya
adalah al-Rabi’ ibn Anas, seorang tabi’i tsiqah.
Banyak ulama memberikannya kesaksian akan keilmuannya dan keutamaannya. Para
penulis al-Kutub al-Sittah telah
menyepakatinya. Ia wafat tahun 90 H, menurut pendapat yang paling kuat.
b. Muhammad bin Ka’b (w. 735 M.)
Ia telah meriwayatkan dari Ali, Ibn Mas’ud dan
Ibn Abbas, di samping meriwayatkan dari Ubai ibn Ka’b dengan wasithah (perantara). Ia dikenal tsiqah, adil dan wara’. Ia alim dibidang
hadis dan takwil Al-Qur’an. Ibn Aun berkata, aku belum pernah melihat orang
yang lebih alim tentang takwil Al-Qur’an dibanding al-Quradhi. Ibn Hibban
berkata, ia termasuk pemuka warga Madinah dalam hal ilmu dan keagamaan. Ia
ditakhrij oleh penulis al-Kutub al-Sittah.
Ia wafat tahun 118 H.
c.
Zaid ibn Aslam (w. 735 M.)
Adalah Abu Usamah atau Abu Abdillah al-Adawi
al-Madani al-Faqih al-Mufassir Maula Umar ibn al-Khaththab. Ia termasuk pemuka
tabi’in dan termasuk imam tafsir. Ulama memberikan kesaksian akan ke-tsiqah-an dan keadilannya. Ia
memiliki banyak ilmu dan tidak segan-segan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yunya. Banyak yang mengambil tafsir
darinya, yang terkenal di antaranya adalah putranya, Abdurrahman dan Malik ibn
Anas Imam Dar al-Hijrah. Ia wafat tahun 136 H.
C. Sumber-Sumber Tafsir Pada Masa Tabi’in
Dari uraian diatas nyatalah bahwa tafsir pada
masa sahabat tafsir ma’tsur-nya tidak
lebih dari pendapat para sahabat. Adapun sesudah mereka, maka sekolah-sekolah
tafsir di masa tabi’in telah berbuah dan berlimpah panennya. Banyak sakali
pendapat tabi’in, di samping pendapat ahli Kitab yang sudah masuk Islam. Karena
itu dapat diringkaskan sumber-sumber tafsir pada masa tabi’in sebagai berikut :
1.
Tafsir sebagai Al-Qur’an terhadap sebagian lainnya.
- Tafsir Rasulullah SAW terhadap sejumlah
ayat.
- Tafsir yang berasal dari sahabat.
- Tafsir yang diambil tabi’in dari ahli Kitab
yang telah masuk Islam yang sumbernya adalah Kitab-kitab suci mereka.
- Ijtihad para tabi’in sendiri sebagai buah
dari kajian mereka terhadap Kitabullah dan pengetahuan mereka tentang
bahasa Arab.
D. Karakteristik Tafsir Tabi’in
1. Terkontiminasinya
tafsir dimasa ini, dengan masuknya Israiliat dan Nasraniyat, yang bertentangan
dengan 'aqidah Islamiyah. Yang dibawa masuk ke dalam kalangan umat Islam dari
kelompok Islam yang dahulunya Ahli kitab seperti Abdullah bin Salam, Ka'ab
Ahbar, Abdul Malik bin Abdul Ajiz ibnu Jariz.
2. Tafsir pada
jaman dahulu senantiasa terpelihara dengan metode talaki dan riwayat akan
tetapi pada jaman Tabi’in metode dalam periwayatannya dengan metode global sehingga
tidak sama aseperti dijaman Rasulallah dan Sahabat.
3. Munculnya benih-benih
perbedaan mazhab pada masa ini, sehingga implikasi sebagian tafsir digunakan
untuk keperluan mazhab mereka masing-masing sehingga tidak diragukan lagi ini
akan membawa dampak bagi tafsir itu sendiri seperti Hasan Al-basari telah
menafsirkan Al-Qur’an dengan menetapkan qadar dan mengkafirkan orang yang
mendustainya.
4. Banyaknya
perbedaan pendapat dikalangan para Tabi’in didalam masalah tafsir, walaupun
terdapat pula dijaman sahabat namun tidak begitu banyak seperti dijaman
Tabi’in.[8]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perkembangan islam semakin luas, hal ini mendorong tokoh tokoh
sahabat berpindah ke daerah
masing-masing dengan membawa bekal ilmu, salah satunya adalah ilmu
tafsir, dari kalangan sahabat inilah tabi’in mulai belajar
dan menimba ilmu, sehingga timbullah berbagai perguruan di bidang
tafsir.
Di Makkah misalnya, berdiri madrasah tafsir ibn abbas, diantara
muridnya yang terkenal adalah , Mujahid
ibn Jabr, Said ibn Jubair, Ikrimah , dll
Di Madinah ubay bin ka’ab lebih terkenal di
bidang tafsir. Pendapat-pendapat tentang tafsir banyak di nukilkan generasi
setelahnya. Dia juga mmbangun madrasah tafsir di sana, diantara murid-muridnya
yang mashur dari kalangan tabi’in adalah Abu al-Aliyah, Muhammad ibn ka’ab al Quradhi
dan Zaid ibn Aslam.
Di Kufah, berdiri madrasah abbullah ibn mas’ud, yang di pandang
sebagian ulama’ sebagai cikal bakal ahli ra’yi.
diantara muridnya yang terkenal adalah, Alqamah ibn Qais, Masruq ibn
al-Ajda’, Al- aswad ibn yazid, Murrah al Hamdani, Amir al sya’bi dan Hasan al
Bashri.
Para ulama’ berbeda pendapat tentang tafsir yang berasal dari
tabi’in, apakah pendapat mereka dapat di pegang atau tidak. Sebagian ulama’
berpendapat, tarsir mereka tidak harus di jadikan pegangan, karena mereka tidak
menyaksikan peristiwa-peristiwa atau situasi dan kondisi yang berkenan dengan
turunya ayat-ayat Al-Qur’an, sehinnga mereka dapat saja berbuat salah dalam
memahami apa yang di maksud. Sebaliknya banyak ulama’ mufassir berpendapat
bahwa tafsir para tabi’in dapat di pegang, karena mereka pada umumnya
menerimanya dari sahabat.
DAFTAR PUSTAKA
Abidu,
Yunus Hasan. TT. Sejarah Tafsir Dan Metode Para Mufasir, Diterjemahkan
Oleh Qudirun Nur Dan Ahmad Musyafiq.
Katsir,
Ibnu. 2004. Al Bidayah Wa Al-Nihyah. Damaskus: Baitul Afkar ad-Dauliyyah.
Mustaqim, Abdul. 2010. Epitemologi Tafsir
Kontemporer. Yogyakarta: LKIS.
Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, hal. 62
Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, hal. 62
Syihab, M. Quraisy. 1998. Membumikan Al-Qur’an.
Bandung: Mizan.
Tim Penyusun. 2008. Mukadimah Al-Qur’an Dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI.
Tim Penyusun. 2008. Mukadimah Al-Qur’an Dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI.
Al-Zarqani,
M. Abdul Adzim. 1995. Manahilul Irfan Fi Ulumil Qur’an, Beirut: Dar
al-Kutub.
[1] M. Quraisy Syihab, Membumikan Al-Qur’an,
(Bandung : Mizan, 1998), hal. 71
[2] Abdul Mustaqim, Epitemologi
Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKIS, 2010), hal. 34
[3] Yunus Hasan Abidu, Sejarah Tafsir Dan Metode Para Mufasir,
diterjemahkan oleh Qudirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (TP: TT), hal. 39
[5] Ibnu Katsir, Al Bidayah Wa Al-Nihyah,
(Damaskus: Baitul Afkar ad-Dauliyyah, 2004), hal. 106
[7] M. Abdul Adzim
Al-Zarqani, Manahilul Irfan Fi Ulumil Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub,
1995), hal. 489
Tidak ada komentar:
Posting Komentar